Oleh: Muhammad Makrufi
Hasil konferensi mekkah
(Syed M. Naquib al-Attas dan Ismail R. al-Faruqi)
A.
Pendahuluan
Islamisasi merupakan sebuah
karkter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview) yang di dalamnya terdapat pandangan
integral terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology).
Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan,
manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama
sekaligus peradaban.
Secara historis, ide atau gagasan islamisasi ilmu
pengetahuan muncul pada saat diselenggarakan konferensi dunia yang pertama
tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai
oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis
oleh sarjana-sarjana dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk
pembenahan serta penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan
oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah
menyangkut islamisasi ilmu pengetahuan. Gagasan ini antara lain dilontarkan
oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam makalahnya yang berjudul “ Preliminary Thoughts on the Nature
ofKnowledge and the Definition and the Aims of Education, dan Ismail Raji
al- Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing social science.” [1]
Dari kedua makalah ini kemudian gagasan tentang
islamisasi ilmu pengetahuan menjadi tersebar luas ke masyarakat muslim dunia.
Pihak pro maupun kontra-pun bermunculan. Diantara tokoh yang mendukung “pro”
terhadap proyek islamisasi tersebut antara lain adalah Seyyed Hossein Nasr
(1933), Ziauddin Sardar (1951) dan beberapa tokoh lain yang menolak adanya
westernisasi ilmu. Sedangkan
pihak yang menentang “kontra” terhadap gagasan islamisasi ini yaitu beberapa
pemikir muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam,
Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi. Mereka bukan hanya menolak akan tetapi
juga mengkritik gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Sebagaimana Fazlur Rahman,
misalnya, dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena
tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam
penggunaannya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas.
Dia kemudian mencontohkan seperti halnya “senjata bermata dua” yang harus
digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab sekaligus sangat penting
menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.
Melihat dari pro kontra inilah kemudian diskursus
mengenai islamisasi menjadi sesuatu hal yang menarik. Dan makalah ini
setidaknya akan menjadi sebuah ‘‘bentuk penilaian’’ bagi para
pembaca khususnya para akademisi muslim yang terlibat di dunia pemikiran, dalam
melihat ide atau gagasan islamisasi ini. Karena dengan memahami tentang konsep
yang digagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail
Raji al- Faruqi tentang islamisasi yang ditulis dalam makalah ini, maka
diharapkan para pembaca akan dapat mengambil gambaran secara umum tentang
konsep islamisasi yang dibawa oleh kedua tokoh tersebut dan dapat memberikan
penilaian sendiri terhadapnya.
B.
Sekilas Biografi Tokoh
Syed Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin bin
Muhammad al-Attas lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat , Indonesia .
Silsilah resmi keluarga Naquib al-Attas yang terdapat dalam koleksi pribadinya
menunjukkan bahwa beliau merupakan keturunan ke 37 dari Nabi Muhammad SAW.
Secara umum, pendidikan al-Attas bermula di Sukabumi (Indonesia ) dan Johor Baru (Malaysia ). Setamat dari situ
al-Attas masuk militer di Inggris, kemudian kuliah di Universitas Malaya (UM)
di Singapura. Untuk selanjutnya al-Attas melanjutkan studinya hingga memperoleh
gelar M.A dan Ph.D, masing-masing dari McGill University, Montreal di Canada
dan University of London di Inggris, dengan fokus kajian pada teologi dan
metafisika alam. Ketika masih mengambil program S1 di Universitas Malaya , al- Attas telah menulis dua buah buku. Buku
pertama adalah “Rangkaian Rubaiyat.” Buku ini termasuk di antara karya
sastra pertama yang dicetak oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur , pada tahun 1959. Sedangkan buku
kedua yang sekarang menjadi karya klasik adalah “Some Aspects of Sufism as
Understood and Practiced among the Malays”, yang diterbitkan oleh lembaga
penelitian sosiologi Malaysia
pada tahun 1963. Sedemikian berharganya buku yang kedua ini, pemerintah Kanada
melalui “Canada Counsel Fellowship” memberinya beasiswa untuk belajar
di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Montreal yang didirikan
oleh Wilfred Cantwell Smith. Di universitas inilah al-Attas berkenalan dengan
beberapa orang sarjana ternama seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur
Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Sayyed Hossein Nashr (Iran).
Pada tahun 1962, al-Attas mendapat gelar M.A. dengan tesis
yang berjudul “Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.” Dan
selama kurang lebih dua tahun (1963-1965) atas bimbingan Prof. Martin Lings,
al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan meraih gelar Ph.D (Philosophy Doctor)
dalam bidang filsafat Islam dan kesusastraan Melayu Islam dengan mempertahankan
disertasi yang berjudul Mistisisme Hamzah Fansuri dengan predikat cumlaude. Disertasi tersebut
telah dibukukan dengan judul “Mysticism of Hamzah Fansuri”.
Dalam perjalanan karir akademiknya, al-Attas mengawali
karirnya dengan menjadi seorang dosen. Dia banyak membina perguruan tinggi dan
ikut berpartisipasi dalam pendirian universitas di Malaysia , baik sebagai ketua
jurusan, dekan, direktur dan rektor. Pada tahun 1968-1970 al-Attas menjabat
sebagai ketua Departemen Kesusastraan dalam Pengkajian Melayu. al-Attas
merancang dasar bahasa Malaysia
pada tahun 1970. Dan pada tahun 1970-1973 al-Attas menjabat Dekan pada Fakultas
Sastra di universitas tersebut. Akhirnya pada tanggal 24 januari 1972 dia
diangkat menjadi Profesor Bahasa dan Kesusastraan Melayu, dalam pengukuhannya
dia membacakan pidato ilmiah yang berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan
Melayu.
Al-Attas telah menulis sekitar 26 buku dan monograf
dalam bahasa Inggris dan Melayu, banyak dari buku dan monograf itu yang telah
diterjemahkan ke bahasa lain seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu,
Malayalam, Indonesia, Perancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan
Albania. Berikut adalah karyakaryanya yang telah diterbitkan diantaranya yaitu: Rangkaian Rubaiyat, Some Aspects
of Sufism as Understood and Practiced Among the Malays, Raniri and the
Wujudiyyah of 17th Century Acheh, The Mysticism of Hamzah Fansuri, Risalah
Untuk Kaum Muslimin, Islam and Secularism, The Concept of Education in Islam, A
Commentary on the Hujjat al Siddiq of Nur al Din al Raniri, Islam and the
Philosophy of Science, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition
of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, dan lainnya.[2]
Adapun Ismail R. al-Faruqi lahir di Yaifa (Palestina)
pada tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1986. Pendidikan
dasarnya dilalui di College Des Frese, Libanon sejak 1926 sampai 1936. Kemudian
dia memperoleh gelar BA-nya pada tahun 1941 di The American University,
Beirut Sedangkan gelar masternya diraih di Indiana dan pada tahun 1952 dia
mencapai gelar doktoral (Phd.) dari Universitas Indiana , Harvard. Meskipun al-Faruqi
berhasil menyelesaikan gelar doktoral dalam filsafat Barat, dikarenakan
langkanya kesempatan kerja dan juga dorongan batin, membawanya kembali ke akar
dan warisan kecendekiawanan islamnya. Dia meninggalkan Amerika menuju Kairo.
Ismail R. al-Faruqi memulai karir profesionalnya sebagai
guru besar sudi Islam pada Institut Pusat Riset Islam di Karachi dari tahun
1961 sampai 1963. Selama setahun berikutnya setelah dia kembali ke Amerika,
al-Faruqi menjadi guru besar tamu dalam bidang sejarah agama di Universitas Chicago . Pada tahun 1964,
al-Faruqi memperoleh posisi permanen penuh pertamanya sebagai guru besar luar
biasa di Jurusan Agama pada Universitas Syracuse. Dia akhirnya pindah ke Universitas Temple pada tahun 1968 untuk menjadi
guru besar studi Islam dan sejarah agama. Ini adalah posisi yang didudukinya
sampai dia wafat pada tahun 1986. Selain
mengajar, al-Faruqi juga mendirikan International
Institute of Islamic Thought (IIIT)
pada 1980 di Amerika Serikat, sebagai bentuk nyata gagasan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan. Kini lembaga tersebut memiliki banyak cabang di berbagai Negara,
termasuk di Indonesia dan Malaysia .
Sebelumnya pada tahun 1972, al-Faruqi telah mendirikan The Association of Muslim Social
Scientist. Kedua lembaga yang didirikannya itu menerbitkan jurnal Amerika
tentang Ilmu-ilmu sosial Islam.
Selama hidupnya, al-Faruqi telah menulis banyak tulisan,
baik di majalah ilmiah maupun populer, dan juga buku. Lebih dari dua puluh buku
dalam berbagai bahasa telah ditulisnya, dan tidak kurang dari seratus artikel
telah dipublikasikan. Seluruh tulisannya pada dasarnya adalah gagasan- gagasan
cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang dikemas
dalam bingkai besar islamisasi ilmu pengetahuan. Beberapa karyanya adalah
sebagai berikut: Christian
Ethics: A Systematic and Historical Analysis of Its Dominant Ideas, The Great
Asian Religions, Historical Atlas of the Religions of the World, Sources of
slamic Thought: Three Epistles on Tawhid by Muhammad ibn ‘Abd al Wahhab, Islam and Culture, Islamic Thought
and Culture, Islamization
of Knowledge, Tawhid: Its Implications For Thought And Life dan lainnya[3]. Beberapa karya penting Ismail
Raji al-Faruqi sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia . Pemikiran-pemikirannya
dapat diamati dari karyakaryanya tersebut. Pemikiran-pemikirannya tentang Islam
dianggap mempunyai nilai penting, karena selain perhatiannya atas dunia dan
umat Islam juga yang terpenting adalah pembelaan atas umat Islam sungguh luar
biasa. Sehingga sepintas tergolong tokoh-tokoh yang berhaluan keras dalam
menanggapi pemikiran-pemikiran berbeda mengenai Islam.
Untuk lebih jelas mengenai pemikiran kedua tokoh ini
tentang islamisasi ilmu pengetahuan, penulis di sini akan membagi konsep
islamisasi dalam pandangan Syed Naquib al-Attas dan Ismail R. al-Faruqi melalui
tiga garis besar yaitu: latar belakang munculnya gagasan islamisasi, mafhum
islamisasi dan langkah-langkah yang ditempuh dalam islamisasi.
C.
Sejarah Islamisasi Ilmu
Pengetahuan
Gagasan al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan
muncul karena tidak adanya landasan pengatahuan yang bersifat netral, sehingga
ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai
(value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden). Pengetahuan dan ilmu yang tersebar
sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai
corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah
pengetahuan yang dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat.
Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang
dilebur secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia
yang mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang
sejati. Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk
dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu.
Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa
kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism). Barat
telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke derajat
ilmiah dalam hal metodologi. Peradaban Barat juga memandang keragu-raguan
sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan istimewa untuk mengejar
kebenaran. Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa kekacauan pada
tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati dan mineral.[4]
Padahal sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang
sangat berharga pada peradaban Barat dalam bidang pengetahuan dan menanamkan
semangat rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa sumber asalnya juga berasal
dari Barat sendiri, yakni dari para filosof Yunani. Namun berkat kegigihan
usaha para sarjana dan cendekiawan muslim di masa klasik, warisan yunani
tersebut dapat digali dan dikembangkan. Bahkan, pengetahuan-pengetahuan telah
diaplikasikan untuk kesejahteraan umat manusia, setelah dilakukan usaha-usaha
secara ilmiah melalui penelitian dan percobaan. Barat mengambil alih pengetahuan
dan ilmu tersebut dari dunia Islam. Pengetahuan dan semangat rasional serta
semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali untuk disesuaikan dengan
kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu dualisme menurut
pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai kebudayaan serta peradaban
Barat. Menurut al-Attas, dualisme tidak mungkin diselaraskan karena terbentuk
dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan
teologi yang bertentangan.
Kebenaran dan realitas dalam pandangan Barat tidak
diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan keyakinan, melainkan atas
tradisi budaya didukung dengan premis-premis filosofis yang didasarkan pada
spekulasi atau perenungan-perenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan
duniawi yang berpusat pada manusia (antropomorfisme), sebagai makhluk
fisik dan sekaligus sebagai makhluk rasional. Perenungan filsafat tidak akan
menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana yang diperoleh dari pengetahuan wahyu
yang dipahami dan dipraktikkan dalam Islam. Karena itu, pengetahuan dan
nilai-nilai yang mendasari pandangan hidup (worldview) dan mengarahkan kepada
kehidupan Barat menjadi tergantung pada peninjauan (review) dan
perubahan (change) yang tetap.
Sedangkan pandangan hidup dalam Islam, menurut al-Attas,
adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and
turth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran
tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan
budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekuler mengenai dunia, yang
dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Akan tetapi realitas dan kebenaran
dalam Islam dimaknai berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak
dan tidak nampak. Pandangan hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode
dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun,
realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tauhid).
Pandangan hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi.
Substansi agama seperti keimanan dan pengalamannya, ibadahnya, doktrinnya serta
sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.[5]
Dengan demikian, sangat jauh berbeda antara pandangan
hidup (worldview) yang dibawa oleh Barat dari nilai-nilai keislaman (al-qiyam
al-islamiyah). Karena Barat mendasarkan segala sesuatunya dengan
kecenderungan pada dikotomisme sedangkan Islam pada konsep tauhid.
Dari situlah kemudian al-Attas mencoba untuk menggagas sebuah konsep islamisasi
yang diharapkan dari konsep ini akan meng-counter peradaban Barat yang sekuler.
Sedangkan alasan yang melatarbelakangi perlunya
islamisasi dalam pandangan al-Faruqi adalah bahwa umat Islam saat ini berada
dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan Islam
berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya
kebodohan. Di kalangan kaum muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan
tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar
kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada
pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad
sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan. Zaman
kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan umat
Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Dalam
kondisi seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu
yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh
kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi.
Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan westernisasi telah menghancurkan
umat Islam sendiri dari ajaran al-Qur’an dan hadis. Sebab berbagai pandangan
dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi dengan adanya filter.
Persoalan westernisasi akhirnya telah merembes ke
persoalan bidang akademik. Banyak generasi muda muslim yang berpendidikan Barat
bahkan telah memperkuat westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan
tinggi. Meskipun kaum muslimin sudah memakai sistem pendidikan sekuler Barat.
Baik kaum muslimin di lingkungan universitas maupun cendekiawan, tidak mampu
menghasilkan sesuatu yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal
ini disebabkan karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertikal yaitu
wawasan Islam. Gejala tersebut dirasakan al-Faruqi
sebagai apa yang disebut dengan “the lack of vision”. Kehilangan yang
jelas tentang sesuatu yang harus diperjuangkan sampai berhasil.
Walaupun dalam aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut
memberi andil positif bagi umat, namun al-Faruqi melihat bahwa kemajuan yang
dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan yang dikehendaki oleh ajaran
agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya merupakan kemajuan semu. Di satu
pihak umat Islam telah berkenalan dengan peradaban Barat, tetapi di pihak lain
mereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yang bersumber moral
agama. Dari fenomena ini, al-Faruqi melihat kenyataan bahwa umat Islam seakan
berada di persimpangan jalan. Sulit untuk menentukan pilihan arah yang tepat.
Karenanya, umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi
keislaman dan nilai-nilai peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini
menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami umat Islam. Bahkan sudah mencapai
tingkat serius dan mengkhawatirkan yang disebutnya sebagai “malaisme”.
Menurut al-Faruqi, sebagai efek dari “malaisme” yang di hadapi umat Islam
sebagai bangsa-bangsa di anak tangga terbawah, mengakibatkan timbulnya dualisme
dalam sistem pendidikan Islam dan kehidupan umat. Proses westernisasi pasca
penjajahan Barat, terjadi di hampir seluruh negara muslim. Dan bisa dikatakan
hal itu telah menghancurkan umat Islam dari ajaran al Qur’an dan Hadits. Dengan
adanya westernisasi, berbagai pandangan hidup Barat diterima umat Islam tanpa
filter. Akibatnya umat Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused).
Keadaan tersebut menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik
dalam aspek pemikiran maupun perbuatan.
Dari situlah kemudian al-Faruqi berkeyakinan bahwa
sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme tersebut dan sekaligus mencari
jalan keluar dari “malaisme” yang dihadapi umat, maka pengetahuan
harus diislamisasikan atau diadakan asimilasi pengetahuan agar serasi dengan
ajaran tauhid dan ajaran Islam.
Jika melihat kedua alasan atau latar belakang perlunya
islamisasi menurut kedua tokoh ini, maka akan terlihat adanya kesamaan
pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang
menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan
nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid. Hanya saja perbedaan kedua tokoh
tersebut terlihat dalam segi “analisa”. Jika al-Attas melihat dan
menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang ini adalah
pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang dari Barat sedangkan al-Faruqi
melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
Gagasan tersebut kemudian dikembangkan oleh Syed M. Naquib al-Attas sebagai proyek
"Islamisasi" yang mulai diperkenalkannya pada Konferensi dunia
mengenai Pendidikan Islam yang Pertama di Makkah pada tahun 1977. Al-Attas
dianggap sebagai orang yang pertama kali mengupas dan menegaskan tentang
perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu. Dalam pertemuan
itu beliau menyampaikan makalah yang berjudul "Preliminary
Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of
Education". Ide ini
kemudian disempurnakan dalam bukunya, Islam
and Secularism (1978) dan The concepts of Education in Islam
A Framework for an Islamic Philosophy of Education (1980). Persidangan inilah yang
kemudian dianggap sebagai pembangkit proses Islamisasi selanjutnya.
D.
Islamisasi Ilmu
Pengetahuan
Secara umum, istilah
Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam atau
membuatnya dan menjadikannya Islam. Definisi ini bukan berarti Islam tidak
bersifat universal, tapi lebih berarti bahwa di luar Islam ada berbagai macam
hal yang jauh dari nilai-nilai Islam. Dari sini justru istilah Islamisasi
merupakan gambaran universal sebagai langkah atau suatu usaha untuk memahamkan
sesuatu dengan kerangka Islam (Islamic framework) dengan memasukkan
suatu pemahaman Islam. Untuk itu, pemahaman atau sesuatu yang jauh dari nilai
Islam tersebut ketika masuk dalam wilayah Islam dibutuhkan adanya upaya yang
disebut sebagai Islamisasi.
Bagi al-Attas, pendefinisian
Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi sacara mum. Yaitu
Islamisasi, menurut al-Attas secara umum adalah pembebasan manusia dari tradisi
magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural
(national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism).
Al-Attas juga memaknai Islamisasi sebagai suatu proses.
Meskipun manusia mempunyai komponen jasmani dan rohani sekaligus, namun
pembebasan itu lebih menunjuk pada rohaninya, sebab manusia yang demikianlah
manusia yang sejati yang semua tindakannya dilakukan dengan sadar penuh makna.
Al-Attas men-sifatkan Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan
sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas
jasmaniyahnya dan proses ini menimbulkan keharmonian dan kedamaian dalam
dirinya sesuai dengan fitrahnya (original
nature).
Dari uraian di atas, maka, islamisasi ilmu berarti
pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi
sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler.[6] Dan dalam
pandangan al-Attas, setidaknya terdapat dua makna
Islamisasi yaitu Islamisasi pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi
pikiran dari dorongan internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruhmagis
(magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural
(national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari
sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong mendzalimi dirinya
sendiri, sebab sifat jasmaniahnya lebih condong untuk lalai terhadap fitrahnya
sehingga mengganggu keharmonian dan kedamaian dalam dirinya yang pada
gilirannya menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Jadi Islamisasi bukanlah satu
proses evolusi (a process of
evolution) tetapi satu
proses pengembalian kepada fitrah (original
nature).
Sedangkan menurut Ismail R. al-Faruqi, dalam pendefinisian atau pengertian tentang
islamisasi ilmu pengetahuan, dia menjelaskan bahwa pengertian dari
islamisasi ilmu yaitu sebagai usaha untuk memfokuskankembali ilmu yaitu, untuk
mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan
rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan
dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.
Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri berarti
melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan
menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia.Menurut
aI-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan
modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan
tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan
kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam
strateginya, dalam data-datanya dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus
dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan pada tauhid.[7]
Dari mafhum islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas
dan al-Faruqi di atas, maka terlihat bahwa jika al-Attas mendefinisikan ilmu
lebih ke arah subjeknya yaitu pada pembenahan umat Islam sendiri yakni
pembebasan manusia dari tradisi
magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural
(national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism).
Sedangkan al-Faruqi mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada
objek ilmu itu sendiri. Yaitu dengan cara mendefinisikan
kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan
dengan data itu, menilai kembali
kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan dalam rangkamemperkaya visi
dan perjuangan Islam.
E.
Langkah-Langkah Dalam
Islamisasi
Dalam pandangan al-Attas, sebelum islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang
harus dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an
sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran
dan nalar saling berhubungan erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan
islamisasi nalar atau pikiran Islamisasi bahasa Arab yang termuati
ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu telah mengubah kedudukan bahasa Arab, di
antara bahasa-bahasa manusia, menjadi satu-satunya bahasa yang hidup yang
diilhami Tuhan, dan dalam pengertian ini menjadi baru dan tersempurnakan sampai
tingkat perbandingan tertinggi terutama kosa kata dasar Islam, tidak tergantung
pada perubahan dan perkembangan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan sosial
seperti halnya semua bahasa lainnya yang berasal dari kebudayaan dan tradisi.
Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa di mana Tuhan mewahyukan kitab suci
al-Qur’an kepada manusia menjadikan bahasa itu terpelihara tanpa perubahan,
tetap hidup dan tetap kekal sebagai bahasa Arab standar yang luhur. Oleh karena
itu, arti istilah-istilah yang bertalian dengan Islam, tidak ada perubahan sosial, sehingga
untuk segala zaman dan setiap generasi pengetahuan lengkap tentang Islam
menjadi mungkin, karena pengetahuan tersebut termasuk norma-normanya merupakan
suatu hal yang telah terbangun mapan, dan bukan termasuk sesuatu yang berkembang seperti halnya
dengan manusia dan sejarah yang dikatakan berkembang.
Lebih lanjut menurut al-Attas, istilah-istilah Islam
merupakan pemersatu bangsa-bangsa muslim, bukan hanya karena kesamaan agama semata, melainkan karena
istilah-istilah itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun secara memuaskan. Ketika diterjemahkan ke
dalam bahasa lain, maka istilah-istilah
itu menjadi kehilangan makna ruhaniyah-nya. Karena itu, istilah Islam tidak dapat diterjemahkan dan dipahami dengan
pengertian lain, meski istilah tersebut di pakai dan ditunjukkan pada nabi-nabi sebelum Muhammad saw. Adapun
makna Q.S. al-Maidah ayat 3 yang menyebutkan “hari penyempurnaan agama
Islam”, di pahami al-Attas sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu
Islam telah merupakan sebuah tatanan agama yang total dan tertutup sehingga
tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan.
Sedangkan dalam prosesnya, islamisasi yang dicanangkan
oleh al-Attas mempunyai beberapa langkah yaitu:[8]
1.
Mengisolisir unsur-unsur dan
konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Unsur-unsur tersebut terdiri dari:
a.
Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
b.
Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran (The concept of dualism
which involved of reality and truth).
c.
Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular
worldview).
d.
Membela doktrin humanism (the doctrine of humanism).
e.
Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan
eksistensi kemanusiaan.
Unsur-unsur tersebut harus dihilangkan dari setiap
bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan
humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, dan aplikasi harus diislamkan
juga. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup
metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern, beserta aspek-aspek empiris
dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historitas
ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia,
rasionalitas proses-proses ilmiah, teori tersebut tentang alam semesta,
klasifikasinya, batasannya, keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya serta
hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
2.
Memasukkan unsur-unsur Islam beserta
konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang
relevan. Al-Attas menyarankan, agar unsur dan
konsep utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut.
Konsep utama Islam tersebut yaitu:
a.
Konsep Agama (ad-din)
b.
Konsep Manusia (al-insan)
c.
Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
d.
Konsep kearifan (al-hikmah)
e.
Konsep keadilan (al-‘adl)
f.
Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
Tujan Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam
dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan.
Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang boleh
membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan menambahkan lagi
keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan,
keadilan, dan kekuatan iman. Adapun yang
menjadi obyek Islamisasi bukan obyek yang berada diluar pikiran tapi adalah
yang terdapat dalam jiwa atau pikiran seseorang. Dan pendekatannya adalah pendekatan
dalam Islam yang berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang
telah terformulasikan sejalan dengan wahyu (revelation tradition),
akal (reason), pengalaman (experience) dan intuisi (intuition). Karena Islam pada dasarnya
mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan
tambahan wahyu sebagai sumber kebenaran tentang sesuatu yang tidak dapat
dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek
rasionalitas dan metodologi pencarian kebenaran dalam Islam memiliki beberapa
kesamaan dengan pandangan filsafat Yunani, namun secara mendasar dibedakan oleh
pandangan hidup Islam (Islamic worldview).
Jadi menurut al-Attas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan dua langkah
utama yang saling berhubungan: pertama, proses mengeluarkan unsur-unsur dan
konsep-konsep penting Barat dari suatu ilmu, dan kedua, memasukkan unsur-unsur
dan konsep-konsep utama Islam ke dalamnya. Dan untuk memulai kedua proses diatas,
al-Attas menegaskan bahwa islamisasi diawali dengan islamisasi bahasa dan ini
dibuktikan oleh al-Qur’an. Sebab alasannya, “bahasa, pemikiran
dan rasionalitas berkaitan erat dan saling bergantung dalam memproyeksikan
pandangan dunia (worldview) atau
visi hakikat kepada manusia. Pengaruh islamisasi bahasa menghasilkan islamisasi
pemikiran dan penalaran,” karena
dalam bahasa terdapat istilah dan dalam setiap istilah mengandung konsep yang
harus dipahami oleh akal pikiran. Di sinilah pentingnya pengaruh islamisasi
dalam bahasa, karena islamisasi bahasa akan menghasilkan islamisasi pemikiran
dan penalaran.
Sedangkan dalam pandangan al-Faruqi berkenaan dengan
langkah-langkah dalam islamisasi ilmu pengetahuan, dia mengemukakan ide islamisasi ilmunya berlandaskan pada esensi
tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu
pengetahuan harus mempunyai kebenarannya. Al-Faruqi menggariskan beberapa
prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka
pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip
tersebut ialah:
a. Keesaan Allah.
b. Kesatuan alam semesta.
Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal
itu tidak bertentangan tetapi saling berhubungan dan keduanya saling
melengkapi. Karena bagaimanapun, kepercayaan terhadap agama yang di topang oleh
wahyu merupakan pemberian dari Allah dan akal juga merupakan pemberian dari
Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran. Syarat-syarat kesatuan kebenaran
menurut al-Faruqi yaitu: pertama,
kesatuan kebenaran tidak boleh bertentangan dengan realitas sebab wahyu
merupakan firman dari Allah yang pasti cocok dengan realitas. Kedua, kesatuan kebenaran
yang dirumuskan, antara wahyu dan kebenaran tidak boleh ada pertentangan,
prinsip ini bersifat mutlak. Dan ketiga,
kesatuan kebenaran sifatnya tidak terbatas dan tidak ada akhir. Karena pola
dari Allah tidak terhingga, oleh karena itu diperlukan sifat yang terbuka
terhadap segala sesuatu yang baru.
e. Kesatuan umat manusia.
Islam menganjurkan
kebebasan dalam hubungannya dengan kemanusiaan tanpa batas-batas yang
senantiasa menghampiri mereka. Dalam konteks ilmu pengetahuan, nampak bahwa
keinginan al-Faruqi, ilmuwan beserta penemuannya, hendaknya memberi
kesejahteraan kepada umat manusia tanpa memandang etnis. Ketaqwaan yang
dipergunakan oleh Islam yang membebaskan dari belenggu himpitan dunia hendaknya
menjadi landasan bagi para ilmuan.
Secara umum, Islamisasi ilmu
tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon positif terhadap realitas ilmu
pengetahuan modern yang sekularistik dan Islam yang "terlalu"
religius, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan
di antaranya. Sebagai panduan untuk usaha tersebut, al-Faruqi menggariskan satu
kerangka kerja dengan lima tujuan dalam rangka Islamisasi ilmu,
tujuan yang dimaksud adalah:
1.
Penguasaan
disiplin ilmu modern.
2.
Penguasaan
khazanah arisan Islam
3.
Membangun
relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern
4.
Memadukan
nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secara kreatif dengan ilmu-ilmu modern
5.
Pengarahan
aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana
Allah.
Untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut,
al-Faruqi menyusun 12 langkah yang harus ditempuh terlebih dahulu.
Langkah-langkah tersebut adalah:
1.
Penguasaan
disiplin ilmu modern: prinsip, metodologi, masalah, tema dan perkembangannya
2.
Survei
disiplin ilmu
3.
Penguasaan
khazanah Islam: ontologi
4.
Penguasaan
khazanah ilmiah Islam: analisis
5.
Penentuan
relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu.
6.
Penilaian
secara kritis terhadap disiplin keilmuan modern dan tingkat perkembangannya di
masa kini
7.
Penilaian
secara kritis terhadap khazanah Islam dan tingkat perkembangannya dewasa ini
8.
Survei
permasalahan yang dihadapi umat Islam
9.
Survei
permasalahan yang dihadapi manusia
10. Analisis dan sintesis kreatif
11. Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke
dalam kerangka Islam
12. Penyebarluasan ilmu yang sudah diislamkan.
F.
Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian yang telah dipaparkan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara Syed Naquib al- Attas
dan Ismail Raji al-Faruqi dalam kaitannya dengan gagasan islamisasi ilmu
pengetahuan. Yaitu, pertama,
jika al-Attas lebih mengutamakan subyek islamisasi ilmu maka al- Faruqi lebih
mengutamakan obyeknya. Kedua,
jika al-Attas hanya membatasi pada ilmu kontemporer untuk program islamisasi
ilmu-nya maka al-Faruqi meyakini bahwa semua ilmu harus diislamisasikan.
Walaupun cukup banyak
persamaan yang terdapat di antara keduanya, dalam beberapa hal, secara prinsip,
mereka berbeda. Untuk mensukseskan proyek Islamisasi, al-Attas lebih menekankan
kepada subjek daripada ilmu, yaitu manusia, dengan melakukan pembersihan jiwa
dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, sehingga dalam proses Islamisasi
ilmu tersebut dengan sendirinya akan terjadi transformasi pribadi serta
memiliki akal dan rohani yang telah menjadi Islam secara kaffah. Sedangkan al-Faruqi
lebih menekankan pada objek Islamisasi yaitu disiplin ilmu itu sendiri. Hal ini
mungkin saja menimbulkan masalah, khususnya ketika berusaha untuk
merelevansikan Islam terhadap sains modern, karena bisa saja yang terjadi
hanyalah proses labelisasi atau ayatisasi semata.
Terlepas dari perbedaan
di atas, sejatinya ada beberapa kesamaan antara pemikiran al-Attas dan
al-Faruqi mengenai ide islamisasi ini. Di antara persamaan pemikiran kedua tokoh
tersebut yaitu kesamaan pemikiran tentang ilmu. Menurut mereka ilmu itu tidak
bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden).
Keduanya juga meyakini bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban
yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan
dengan nilai yang ada dalam ajaran Islam yaitu tauhid. Konsep ilmu menurut mereka harus berlandaskan pada metode
ketauhidan yang diajarkan oleh al-Qur’an. Mereka juga meyakini bahwa sumber
dari semua masalah umat adalah sistem pendidikan terutama dalam problematika
ilmu yang berkembang saat ini. Dan mereka yakin bahwa islamisasi
ilmu pengetahuan merupakan satu solusi untuk mengatasi problematika umat tersebut.
[1]
http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=794:islamisasi-ilmu-pengetahuan-tinjauan-atas-pemikiran-syed-m-naquib-al-attas-dan-ismail-r-al-faruqi&catid=31:pendidikan-islam&Itemid=96
[2] Ismail SM, Paradigma
pendidikan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
p. 271-272
[5] ibid
[6] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam (Bandung: Mizan, 1996, Cet. Ke-7), p.
90
[7] Ibid
[8] Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Konsep
Pendidikan Dalam Islam (Bandung:
Mizan, 1996, Cet. Ke-7), p. 90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar