BAB
I
PENDAHULUAN
Sudah dikethuai
dan dipergunakan berabad-abad bahwa Al-Qur’an sebagai sumber utama bagi umat
Islam dalam mengatur segala aspek kehidupannya dan petunjuk bagi sikap dan
prilaku baik menjalani kehidupan d nnya dan petunjuk bagi sikap dan prilaku
baik menjalani kehidupan dunia maupun persiapan menuju akhirat. Banyak orang kagum atau tertarik pada
al-Qur’an, namun tanpa dapat menjelaskan mengapa mereka kagum dan tertarik.
Tanpa dogma-dogma teologis pun teks al-Qur’an telah menjadi bukti yang inheren
atas kemahaindahannya. Beberapa keindahan yang menonjol dalam teks-teks
al-Qur’an bagi orang awam sekalipun, adalah teks-teks tentang kisah (cerita).
Kisah (cerita)
di dalam al-Qur’an terdapat dalam 35 surat
dan 1.600 ayat. Tak mengherankan jika kemudian Allah menyebut al-Qur’an sebagai
kumpulan cerita terbaik, meski ia bukanlah buku cerita biasa.
“…Kami menceritakan kepadamu
kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu (QS. Yusuf: 3)
Predikat kisah
terbaik ini semakin kokoh karena kisah-kisah dalam Al-Qur’an telah diberi
karakter sebagai kisah yang benar (al-qashash al-haq).Sayangnya jumlah yang
hampir mendominasi seluruh isi al-Qur’an ini kurang mendapat perhatian para
peneliti dibandingkan perhatian mereka terhadap ayat-ayat hukum, teologi, dan
yang lainnya.[2]
Bagi anak-anak,
duduk manis menyimak penjelasan dan nasihat merupakan sesuatu yang tidak
menyenangkan. Sebaliknya, duduk berlama-lama menyimak cerita atau kisah adalah
aktivitas yang mengasyikkan. Oleh karenanya memberikan pelajaran dan nasihat
melalui cerita adalah cara mendidik yang cerdas dan bijak.[3]
Itulah sebabnya,
dalam mengemban tugas dakwah, untuk membuka hati manusia Allah memerintahkan
kepada Rasulullah untuk banyak-banyak bercerita. Dengan bahasa perintah yang
cukup tegas Allah berfirman
“Maka Ceritakanlah (kepada
mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir”
(QS. al-A’raf : 176).
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN KISAH
Menurut bahasa, kata qashash berarti kisah, cerita,
berita atau keadaan . Kata kisah berasal dari bahasa Arab qishshah, yang
diambil dari kata dasar qa sha sha. Kata dasar tersebut ditampilkan al-Qur’an
hingga sebanyak 26 kali[1].
Dari penelusuran ayat-ayat yang menggunakan kata dasar tersebut dapat diambil
pengertian sebagai berikut:
Kata dasar tersebut kadang juga ditampilkan dalam
konteks kebenaran atas apa yang disampaikan Rasulullah, sebagaimana firman
Allah :
“Sesungguhnya Ini adalah kisah yang benar…” (QS.
Ali ‘Imron 62)
Sebagai sebuah kitab suci, Al-Qur’an memuat kisah-kisah
yang tak terkotori oleh oleh goresan pena tangan-tangan jahil dan tidak
tercampuri kisah-kisah dusta dan rekayasa. Kisah-kisahnya merupakan kisah yang
benar, yang Allah kisahkan untuk segenap manusia, sebagai cerminan dan contoh
bagi kehidupan manusia sekarang dan yang akan datang.
Secara semantik kisah berarti cerita, kisah atau
hikayat. Dapat pula berarti mencari
jejak (QS. Al-Kahfi:64); menceritakan kebenaran (QS. Al-An’am:57); menceritakan
ulang hal yang tidak mesti terjadi (QS. Yusuf:5); dan berarti berita berurutan
(QS. Ali Imran:62). Sedangkan kisah menurut istilah ialah suatu media untuk
menyalurkan tentang kehidupan atau suatu kebahagiaan tertentu dari kehidupan
yang mengungkapkan suatu peristiwa atau sejumlah peristiwa yang satu dengan
yang lain saling berkaitan, dan kisah harus memiliki pendahuluan dan bagian
akhir.[2]
B.
KISAH DALAM AL-QURAN
1. Macam-macam Kisah dalam al-Qur’an
Menurut Manna
al-Qaththan, kisah Qur’an dibagi kepada
tiga yaitu:
- Kisah Anbiya’ yakni kisah yang mengandung dakwah mereka kepada kaummnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Seperti kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, ‘Isa, Muhammad dan nabi-nabi serta rasul lainnya.
- Kisah yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Seperti kisah Thalut dan Jalut, Habil dan Qabil, dua orang putra Adam, Ashhab al-Kahfi, Zulkarnain, Karun, Ashab al-Sabti, Maryam, Ashab al-Ukhdud, Ashab al-Fil, dan lain-lain.
- Kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa rasulullah. Seperti Perang Badar dan Uhud pada surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk pada surah Taubah, perang Ahzab dalam surah al-Ahzab, hijrah nabi, Isra Mi’raj dan lain-lain.[3]
2. Metodologi pemahaman kisah
Berbagai penelitian tentang kisah dalam al-Qur’an harus
memiliki konsep yang jelas dan benar, sehingga dapat merenungkan letak-letak
yang mengandung pelajaran dari kisah-kisah orang terdahulu agar tidak keluar
menuju ketersesatan, mitos-mitos, dongeng-dongeng, cerita-cerita, legenda
bohong. Dalam al-Qur’an, terdapat beberapa indikator seputar pengamatan terhadap
kisah orang-orang terdahulu dan seputar metodologi ilmiah yang benar .
Banyak sekali terdapat metodologi dalam memahami
kisah-kisah dalam al-Qur’an, namun diantara yang paling mudah dipahami adalah
metode dimana kisah-kisah tersebut di kelompokan dalam katagori “berita-berita
gaib” . Kategori gaib dijadikan tawaran metode dengan kenyataan bahwa diantara
karakteristik orang-orang mu’min yang paling nyata dan menonjol adalah beriman
kepada ayang gaib (transenden),[4]
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan
kepada mereka (QS 2 : 3)
Selain itu hal ini juga diperkuat dengan landasan dari
bagian rukun iman yaitu beriman kepada yang gaib.
Rasionalitas ghaib dalam karakteristik pemahaman
terhadap Islam adalah unsur utama pembentukan rukun iman , dan al-Qur’an
sendiri dengan tegas mengkategorikan bahwa kisah-kisah orang-orang terdahulu
yang termaktub di dalamnya adalah termasuk ke dalam alam gaib. Dalam memahami
kisah gaib dalam al-Qur’an, kisah tersebut dapat ditinjau dari segi waktu,
antara lain:
- Gaib pada masa lalu; dikatakan masa lalu karena kisah-kisah tersebut merupakan hal gaib yang terjadi pada masa lampau, dan disadari atau tidak kita tidak menyaksikan peristiwa tersebut, tidak mendengarkan juga tidak mengalaminya sendiri. Contoh-contoh dari kisah ini adalah:
·
Kisah tentang dialog malaikat
dengan tuhannya mengenai penciptaan kholifah di bumi, sebabagaimana tercantum
dalam QS. [2]: 30-34- Kisah tentang
turunnya Malaikat-malaikat pada malam Lailatul Qadar, seperti disebutkan dalam
QS. Al-Qadar: 1-5.
·
Kisah tentang kehidupan
makhluq-mahkluq gaib seperti setan, jin, Iblis, seperti tercantum dalam QS.
Al-A’raf: 13-14.
- Gaib pada masa kini; dalam artian bahwa kisah tersebut terjadi pada masa sekarang, namun kita tidak dapat melihatnya di bumi ini
- Gaib pada masa depan; dengan penjelasan bahwa semua akan terjadi pada masa depan ( di akhir zaman), Contoh-contoh dari kisah ini adalah;
·
Kisah tentang akan datangnya hari
kiamat, seperti tercamtu dalam QS. Qori’ah, Al-Zalzalah.[5]
3. Gaya
cerita
Dalam
penyajian kisah al-Qur’an, tema, teknik pemaparan, dan setting peristiwa
senantiasa tunduk pada tujuan keagamaan tanpa meninggalkan karakteristik seni.
Dengan demikian kisah dalam al-Qur’an merupakan paduan antara aspek seni dan
aspek keagamaan.
a. Gaya
Narasi
Berikut adalah
beberapa variasi pemaparan gaya
narasi kisah Nabi Ibrahim:
·
Gaya pemaparan berawal dari kesimpulan
kemudian diikuti uraian kisah sebagaimana versi QS. Maryam (19): 41-49.
·
Gaya pemaparan berawal dari klimaks,
sebagaimana versi QS. Hud (11) : 69-75.
·
Gaya pemaparan dramatik, yaitu kisah disusun
seperti adegan-adegan drama, sebagaimana versi QS. Al-Baqarah (2) : 258.
·
Gaya pemaparan kisah tanpa diawali
pendahuluan, tetapi langsung pada rincian kisah,sebagaimana versi QS. Al-An’am
(6) : 74-84 dan 161.
·
Gaya pemaparan kisah yang diawali
pendahuluan. Kata-kata yang digunakan sebagai pendahuluan dalam pemaparan kisah
al-Qur’an sangat beragam, seperti :
- wa idz yang diikuti fi’l madhi seperti
QS.al-Baqarah 124
- a lam tara ,
hal ataka, seperti dalam QS al-Baqarah (2) : 258 dan adz-Dzariyat (51):
- maa kaana seperti QS.ali Imron (3) : 67[6]
- dan masih ada beberapa kata pembuka lainnya
b. Gaya
Dialog
Kisah-kisah
dalam al-Qur’an sering ditampilkan dalam konteks dialog sehingga lafal-lafal
qaala, qaaluu, qaalat, qulnaa, yaaquuluu, yaquuluun, seringkali kita
temukan.Dialog dalam kisah al-Qur’an dapat menggambarkan kepribadian pelakunya,
yakni dengan memperhatikan cara pengungkapan bisikan jiwa, pendapat, dan
sikapnya tatkala terjadi perselisihan di anatara mereka.
Dalam
pengembangan metode bercerita, dialog merupakan unsur penentu menariktidaknya
dan hidup-matinya cerita, terlebih cerita untuk anak-anak. Percakapan tokoh
memicu imajinasi anak akan karakter tokoh dan tingkah laku.
C.
HIKMAH KISAH DALAM AL-QUR’AN
- Penjelasan tentang kebijaksanaan Allah Ta’ala yang terkandung dalam kisah-kisah tersebut. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala yang artinya: “Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari kekafiran), itulah suatu hikmah yang sempurna maka peringatan-peringatan itu tidak berguna (bagi mereka).” (Q.S. Al Qamar: 4-5)
- Penjelasan tentang kemahaadilan Allah yang menjatuhkan hukuman bagi orang-orang yang mendustakan. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala berkenaan dengan orang-orang yang mendustakan: “Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Rabb-mu datang.” (Q.S. Huud: 101)
- Penjelasan tentang karunia Allah yang memberi balasan baik bagi orang-orang yang beriman. Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan sebelum fajar menyingsing, sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Al Qamar: 34-35)
- Hiburan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas penderitaan yang beliau alami karena gangguan orang-orang yang mendustakan beliau. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala yang artinya: “Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul-Nya); kepada mereka telah datang rasul-rasul-Nya dengan membawa mu’jizat yang nyata, zubur, dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian Aku azab orang-orang yang kafir; maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaan-Ku.” (Q.S. Faathir: 25-26)
- Motivasi bagi kaum mukminin
agar istiqamah di atas keimanan dan untuk meningkatkannya. Karena mereka
mengetahui keselamatan orang-orang mukmin terdahulu dan kemenangan yang
diraih oleh orang-orang yang diperintahkan untuk berjihad. Dasarnya adalah
firman Allah Ta’alayang artinya: “Maka
Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan.
Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Q.S.
Al Anbiyaa’: 88)
“Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (Q.S. Ar Ruum: 47) - Ancaman bagi orang-orang kafir supaya tidak melestarikan kekafirannya. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala yang artinya: “Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.” (Q.S. Muhammad: 10)
- Bukti atas kebenaran risalah yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, karena hanya Allah sajalah yang mengetahui kisah umat-umat terdahulu tersebut. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala yang artinya: “Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini.” (Q.S. Huud: 49)
“Belumkah
sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud
dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah.” (Q.S. Ibrahim: 9)
Di antara kisah-kisah tersebut ada yang hanya
disebutkan sekali saja, seperti kisah Luqman dan pemuda Al-Kahfi, dan ada yang
disebutkan berulang kali, menurut keperluan dan mashlahatnya. Pengulangan itu
tidaklah dalam bentuk yang sama. Namun berbeda-beda bentuknya, kadang panjang,
kadang pendek, kadang lembut dan kadang keras, kadang disebutkan beberapa
bagian dari kisah tersebut di satu tempat dan tidak disebutkan di tempat
lainnya.
Hikmah pengulangan tersebut adalah sebagai berikut:
·
Penjelasan tentang urgensi kisah
tersebut. Karena pengulangannya menunjukkan bahwa kisah tersebut penting.
·
Penegasan kisah tersebut, agar
lebih meresap ke dalam hati manusia.
·
Melihat kondisi zaman dan keadaan
manusia pada saat itu. Oleh sebab itu, kisah-kisah dalam surat Makkiyah biasanya lebih keras dan lebih
ringkas. Sementara kisah-kisah dalam surat-surat Madaniyah sebaliknya, lebih
lembut dan lebih panjang.
·
Keterangan tentang indahnya balaghah Al Qur’an
yang mampu menghadirkan kisah tersebut dalam bentuk yang berbeda-beda sesuai
dengan situasi dan keadaannya.
·
Menunjukkan kebenaran Al Qur’an
dan menunjukkan bahwa Al Qur’an berasal dari sisi AllahTa’ala, di mana kisah-kisah tersebut dihadirkan
dalam bentuk yang berbeda-beda tanpa terdapat kontroversi di dalamnya.
Dalam pemaparan kisah-kisah al-Qur'an, pada dasarnya
terdapat banyak sekali faedah yang dapat dipetik manfaatnya. Faedah-faedah
tersebut tertuang jelas dalam al-Qur'an, walaupun sebenarnya terdapat
faedah-faedah yang tidak tertulis yang belum manusia ketahui secara pasti.
Diantara faedah yang tertuang jelas dalam al-Qur'an adalah :
1.
Menjelaskan
asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syari’at yang dibawa
oleh para Nabi.
2.
Meneguhkan
hati Rasulullah dan umatnya atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang
mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukung serta hancurnya kebatilan
dan para pembelanya.
3.
Membenarkan
Nabi terdahulu, menghidupkan kenangan serta mengabaikan jejak dan
peninggalannya.
4. Menampakkan kebenaran Muhammad dalam
berdakwah dengan apa yang diberitakan
tentang hal ihwal orang-orang terdahulu disepanjang kurun dan generasi.
5.
Kisah termasuk
salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan
memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa, baik berupa
nasehat, perintah, dan ancaman.[8]
Dari beberapa faedah yang telah disebutkan diatas,
dapat dikatakan bahwa sebenarnya muatan atau kandungan yang terdapat dalam
kisah-kisah itu adalah mencakup beberapa hal. Diantaranya adalah unsur teologis
yang dapat dilihat dengan keterangan yang bersifat ketuhanan dan kenabian.
Kedua, adalah moralitas, hal ini dapat dilihat dengan adanya pesan-pesan yang
terdapat di dalamnya menyangkut suatu pelajaran-pelajaran penting yang harus
dijadikan pelajaran. Adakalanya untuk ditiru maupun untuk dijauhi. Ketiga,
adalah unsur peradaban dan sastra yang terlihat ketika metode penyampaiannya
menggunakan cerita. Hal ini mempunyai hal tersendiri, misalnya dapat menarik
perhatian yang membaca atau yang mendengarnya, disamping itu juga bahwa suatu
hal yang dijelaskan atau diungkapkan dengan metode sastra, dapat langsung
menyentuh jiwa orang atau obyek yang menjadi tujuan diungkapkannya perihal
tersebut.
Lebih dari semua yang dipaparkan di muka, bahwa ketika
kisah al-Qur'an dilihat dari tujuannya, maka diketahui letak perbedaan antara
cerita dalam al-Qur'an dengan cerita pada umumnya. Al-Qur'an memakai kisah
sebagai salah satu cara mengungkapkan tujuan-tujuan yang bersifat
transcendental, kendatipun demikian, aspek kesusastraan suatu kisah pada
al-Qur'an tidak serta merta hilang, terutama pada saat menggambarkan umat masa
lalu. Sedangkan cerita sastra pada umumnya hanyalah menonjolkan ungkapan seni
atau kesusastraan saja pada aspek tujuannya. Itulah perbedaan mendasar antara
cerita al-Qur'an dengan cerita sastra biasa.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari semua paparan diatas, terdapat beberapa titik
tekan pada kisah-kisah dalam al-Qur'an, yaitu:
a. Pada dasarnya, kisah dalam al-Qur'an bertujuan untuk mengantarkan
manusia pada suatu kebenaran melalui berbagai metode penyampaian dan ungkapan
unsur-unsurnya.
b. Walaupun intinya sama, akan tetapi dalam al-Qur'an terdapat dua hal
yang pokok, yaitu bahwa variasi kisah dalam paparan diatas dapat dikelompokkan
pada 2 (dua) hal saja, yaitu: cerita yang berupa “kenyataan” (cerita yang
benar-benar terjadi), dan “simbolik” (cerita yang hanya berupa simbol belaka
dan terjadinya bukan merupakan keharusan).
[1] Kadar M
Yusuf, study al-Qur’an ( Jakarta
: Amzah. 2009) hal 13
[2] Ibid hal
13
[3] Manna
Khalil Al-Qattan, Study al- Qur’an (Bogor : pustaka lintera antar Nusa: 2001)
terj. Hal 34
[5] Qalyubi, Shihabuddin. Stilistika
al-Qur'an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur'an, (Yogyakarta :
Titian Ilahi Press, 1997.) hal 63
[6] Ibid hal
13
[8] Kadar M
Yusuf,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar