BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Islam merupakan agama yang dikenal dengan agama yang
toleran serta tidak menyulitkan bagi umat yang memeluknya, al-Quran dan Hadist
telah dijadikan peraturan bagi setiap muslim diseluruh pelosok dunia.
Namun, tidak sebatas itu, al-qur’an dan Hadist telah memeberikan petunjuk
bahwa setiap perkara yang tidak tercantum didalam wahyu yang diturunkan oleh
Allah disarankan agar melakukan ijtihat dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh syariat Islam. Dengan dimikian banyak Ulama’ yang senantiasa
melakukan hal-hal semacam itu dengan tujuan agar kaum muslimin senantiasa
berada dijalan yang benar.
Namun Dewasa ini, ternyata jika kita sedikit menerawang
kepelosok-pelosok desa bahkan banyak orang muslim tidak memahami apa yang
dilakukannya sendiri, tidak menutup kemungkinan bahwa hanya sebatas melakukan
dan dapat dikatakan hanya sebatas ikut-ikutan saja dalam artian tidak
mengetahui hokum sebenarnya. Untuk itu penulis akan membahas tentang
kaidah-kaidah fikih yang dewasa ini telah banyak digunakan oleh banyak kaum
muslimin.
B.
Manfaat penulisan
1.
Penulis
Sebagai tambahan wawasan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang
selama ini masih belum sempurna, serta ingin mengembangkan potensi akademik
khususnya bagi penulis sendiri
2.
Lembaga Institut Agama Islam
Sebagai sumbangan analisis ilmiah terhadap seluruh umat Islam
yang hususnya institusi lembaga pendidikan Agama Islam Nurul Jadid Paiton
Probolinggo sebagai hazanah keilmuan.
C.
Sistematika penulisan
Untuk mendapatkan gambaran singkat yang jelas dan menyeluruh
tentang isi makalah tentang kaidah-kaidah fikih, secara singkat dan
jelas dapat dilihat dalam sistematika pembahasan di bawah ini, dimana dalam makalah
ini dapat dibagi menjadi empat bab, antara lain:
BAB I :
Pendahuluan.
Bab ini merupakan bagian dari pendahuluan dari isi makalah ini yang terdiri
dari latar belakang masalah, manfaat penulisan, dan sistematika pembahasan.
BAB II : Pembahasan
Dalam
bab ini berisi tentang kajian teori yaitu pembahasan tentang kaidah fikih yang
menjelaskan tentang teks beserta penjelasan dari teks tersebut yang
disempurnakan dengan aplikasi teks tersebut yang dilengkapi dengan contohnya.
Yang kemudian penulis lengkapi dengan analisa dari teks tersebut.
BAB
III : Analisis
Dalam
bab ini, merupakan hasil analisis pribadi penulis yang terkandung didalam teks
kaidah-kaidah fikih tersebut agar menjadi pedoman yang dapat digunakan sesuai
dengan pemakainya.
BAB IV :
Kesimpulan dan Saran
Bab
ini merupakan akhir dari pembahasan yang berisi tentang kesimpulan terhadap
pembahasan data-data yang telah dianalisis dan saran-saran sebagai bahan
pertimbangan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
QAidah fiqiyah
1.
Teks
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“Jika
sebuah kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu
wajib pula hukumnya”[1]
2.
Penjelasan
Dari teks (kaidah fikih) diatas dapat difahami bahwa dalam
melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan apapun baik itu horizontal
dan vertical yang jika hukumnya wajib, dan disertai dengan syarat-syarat atau
hal-hal yang berkaitan untuk menyempurnakan suatu tujuan tersebut yang hukumnya
wajib maka syarat-syarat itu menjadi wajib pula hukumnya.
Kendatipun demikian, jika yang terjadi adalah sesuatu
pekerjaan yang pada asal mula hukumnya sunnah ataupun mubah akan tetapi jika
sesuatu pekerjaan tersebut merupakan penyempurna atau syarat untuk memenuhi
pekerjaan yang bernuansa wajib, maka tidak dipunkiri sesuatu pekerjaan yang
asal mula hukumnya mubah atau sunnah bisa menjadi wajib hukumnya.
Adapun dari diskripsi diatas, sesuatu kewajiban dapat
dikatakan sempurna jika kewajiban-kewajiban tersebut sudah memenuhi
syarat-syarat tertentu demi tujuan yang ingin dicapai.
Sejauh ini, ada kaidah-kaidah fikih yang berhubungan dengan
teks diatas, yaitu;
للو سائل حكم المقاصد
Artinya;
“Hukum sarana/wasilah adalah sama dengan hukum tujuan”[2]
Hubungan antara kedua teks kaidah-kaidah fikih diatas sungguh
sangat tersambung, karena sama-sama mempunyai artian dalam melaksanakan sesuatu
hal yang wajib namun harus memmpunyai syarat yang harus dipenuhi maka syarat
tersebut wajib pula hukumnya untuk memenuhi tujuan tersebut.
B.
Aplikasi kaidah Dalam contoh
1.
Rukyatul Hilal
Hukum melakukan rukyatul hilal untuk menentukan awal bulan
qamariyah adakalanya wajib dan adakalanya sunnah (mandub). Hukumnya wajib
secara fardhu kifayah jika terkait dengan ibadah-ibadah yang hukumnya wajib,
seperti puasa Ramadhan dan ibadah haji.
Maka wajib hukumnya melakukan rukyatul hilal pada malam ke-30
bulan Sya’ban untuk menentukan awal bulan Ramadhan guna melaksanakan puasa
Ramadhan. Wajib pula rukyatul hilal pada malam ke-30 bulan Ramadhan untuk
mengakhiri puasa Ramadhan serta menentukan awal bulan Syawwal guna merayakan
Iedul Fitri, serta malam ke-30 bulan Zulqa’dah untuk menentukan awal bulan Zulhijjah
guna melaksanakan ibadah haji, seperti wukuf di Arafah tanggal 9 Zulhijjah,
juga untuk menentukan hari raya Iedul Adha tanggal 10 Zulhijjah. (Mausu’ah Al
Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz XXII hlm. 13; Bakar bin Abdullah Abu Zaid, Hukm
Itsbat Awa`il As Syahr Al Qamari wa Tauhid Ar Ru`yah, hlm. 7).
Dalil
wajibnya melakukan rukyatul hilal ini adalah kaidah fiqih :
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
"
Jika sebuah kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu
itu wajib pula hukumnya”
Adapun jika terkait dengan ibadah-ibadah yang hukumnya
sunnah, seperti puasa Tasu`a tanggal 9 Muharram, atau puasa ’Asyura tanggal 10
Muharram, atau puasa sunnah tanggal 13, 14, dan 15 pada setiap bulan qamariyah,
maka rukyatul hilal hukumnya sunnah. Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid dalam
kitabnya Hukm Itsbat Awa`il As Syahr Al Qamari wa Tauhid Ar Ru`yah
berkata,”Jika ibadah hukumnya sunnah, maka melakukan rukyatul hilal hukumnya
juga sunnah, sebab hukum untuk sarana itu mengikuti hukum tujuan (al wasa`il
lahaa ahkam al ghayat). Maka jika dilakukan rukyatul hilal, itu baik. Jika
tidak, maka patokan ibadah sunnah ialah istikmal (menggenapkan) bulan
sebelumnya.” (Bakar bin Abdullah Abu Zaid, Hukm Itsbat Awa`il As Syahr Al
Qamari wa Tauhid Ar Ru`yah, hlm. 7).
Dalil sunnahnya melakukan melakukan rukyatul hilal tersebut
adalah kaidah fiqih :
الوسائل تتبع المقاصد في أحكامها
“Segala
jalan/perantaraan itu hukumnya mengikuti hukum tujuan”
Kaidah ini menerangkan bahwa hukum untuk wasilah
(jalan/perantaraan) itu sama dengan hukum untuk tujuan. Berdasarkan kaidah ini,
rukyatul hilal untuk ibadah sunnah itu hukumnya sunnah. Sebab rukyatul hilal
dianggap sebagai wasilah yang akan mengantarkan pada ibadah-ibadah sunnah.
Berdasarkan penjelasan ini, maka melakukan rukyatul hilal
hukumnya fardhu kifayah untuk menentukan masuknya bulan Ramadhan, Syawal, dan
Zulhijjah. Adapun rukyatul hilal untuk bulan-bulan yang lain, seperti bulan
Muharram, Rajab, dan sebagainya hukumnya sunnah, tidak wajib.
Sebagian ulama mewajibkan rukyatul hilal untuk menentukan
masuknya bulan-bulan haram (al asyhur al hurum), karena terkait dengan larangan
berperang bagi kaum muslimin untuk berperang pada bulan-bulan haram (QS Al
Baqarah [2] : 217), yakni bulan Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Namun
menurut kami, rukyatul hilal ini hukumnya tidak wajib, sebab menurut Imam Taqiyuddin
An Nabhani larangan berperang pada bulan-bulan haram itu telah dinasakh
(dihapus) oleh ayat-ayat perang sehingga larangan tersebut tidak berlaku lagi
bagi kaum muslimin saat ini.
2.
Wudhu’ vs Shalat
Hokum asal dari whudu’ merupakan sunnah, dan diketahui bahwa hokum
melaksanakan shalat adalah wajib, sebagaimana hadist nabi sebagai berikut;
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي اُصَلِّى
“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat”.(Riwayat
Al-Baihaqi,Ad-Daruquthny, dan Ibnu Majah)
Dari hadist diatas, dapat disimpulkan bahwa hokum
melaksanakan shalat adalah wajib, karena hadist diatas mempunyai arti seruan,
ajakan, atau perintah untuk melakukan shalat yang dalam hal tersebut Nabi
berperan sebagai model, atau contoh yang memperagakan shalat.
Sedang dalam hadist dan keterangan-keterangan dalam dalam
hokum Islam untuk melaksanakan shalat baik yang bersifat wajib ataupun sunnah
ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu suci dari hadas kecil dan hadast besar[3],
dengan demikian, berwudhu’ akan berubah status hukumnya yang pada awalnya
adalah sunnah tetapi menjadi wajib dengan alasan dalam melakukan shalat harus
mempunyai wudhu yang disetarakan dari kaidah fikih tersebut diatas.
Berikut adalah keterangan-keterangan yang memerintahkan dalam
melaksanakan shalat harus mempunyai wudhu’, yang bernunyi;
هادا وضؤ لايقبل الله الصلاة ال الا به
Artinya:
“… Beginilah wudhu’, Allah tidak menerima wudhu’ seseorang kecuali
dengan wudhu’ seperti ini”[4]
Dalam teks lain yang dapat memperkuat penjelasan tersebut
diatas terdapat didalam ayat-ayat suci al-Qur’an yang dalam hal ini tercantum
dalam surat
al-Maidah ayat 6, Allah berfirman didalam al-Qur’an yang berbunyi;
ياايهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا
قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوابِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ وَإِن
كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ
جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ
تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ
وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
Artinya;
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika
kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur”. (Al-Maidah ayat 6)
Jadi, dengan demikian dari keterangan diatas, dapat
disimpulkan bahwa hukum melakukan wudhu’ menjadi wajib disebabkan untuk
memenuhi suatu tujuan yaitu melaksanakan shalat, karena syarat untuk melakukan
shalat harus mempunyai whudhu (suci dari hadast) jadi shalat tidak akan
terlaksana tanpa mempunyai wudhu’[5].
3.
Wudhu’ vs Al-qur’an
Al-Quran merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, yang sampai pada saat ini
al-Qur’an menjadi sumber hokum yang pertama bagi agama Islam yang tersebar
diseluruh pelosok dunia.
Mengenai hokum memegang al-qur’an ada perbedaan dalam
menentukan hokum tersebut, namun dalam konteks ini yang dihubungkan dengan
permaslahan kaidah-kaidah fikih maka mewajibkannya mempunyai wudhu.
Menurut M. Abduh,
al-Quran merupakan kalam mulia yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi
yang paling sempurna dan al-Qur’an merupakan kalam yang mulia yang esensinya
tidak dimengerti kecuali bagi orang-orang yang berjiwa suci.[6]
Dari beberapa keterangan bahwa Imam Malik, Hanafi dan Syafi’i
memberikan pendapat bahwa suci dari hadas kecil dan hadas besar adalah syarat
di perbolehkannya memegang Mushaf Al qur’an.
Pendapat ini yang didasarkan pada ayat suci al-qur’an, Allah
SWT berfirman:
لاَّ يَمَسَّةُ إِلاَّ
الْمُطَهَّرُونَ
Artinya:
“Tidak
menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.”
(QS.
Al Waqi’ah: 79)
Sedangkan diperbolehkan menyentuh mushaf seluruhnya atau
sebagiannya yang pendapat ini diluncurkan oleh imam Maliki namun harus dengan
syarat sebagai berikut:
a.
Dalam keadaan darurat.
b.
Tertulis dengan tidak menggunakan bahasa
arab, adapun jika tertulis dengan menggunakan bahasa arab maka tidak boleh
menyentuhnya dengan keadaan apapun, walaupun tertulis dengan khat Kufiy atau
Maghribiy atau selainnya.
c.
Menjadi ukiran dalam mata wang, sama ada
dalam dinar, dirham atau selainnya (yang menjadi alat untuk pertukaran)
d.
Diperbolehkan memegang qur’an seluruhnya
atau sebagiannya untuk menyelamatkan (terjatuh dilantai atau dimana saja) tanpa
memiliki wudhu. Sebagian dari para Malikiah mengatakan diperbolehkan
memegangnya apabila qur’an itu hanya sebagian saja dan jika sempurna qur’an
tersebut maka dilarang. Dan syarat memegangnya ada dua: Pertama,
hendaknya orang yang memegang qur’an adalah muslim. Kedua, hendaknya
qur’an tersebut tertutup (terbungkus) agar tidak ternodai dari segala macam
kotoran.
e.
Yang menyentuhnya atau yang memegangnya
adalah seorang guru atau murid, dan tidak ada perbezaan apakah mereka itu sudah
mukallaf atau belum, begitu juga wanita yang haidh dan yang selain itu.[8]
Maka, bagi Maliki, selain dari empat syarat tadi, orang yang
tidak memiliki wudhu tidak diperbolehkan untuk menyentuh atau memegang qur’an,
sama ada menggunakan alas ataupun tidak. Begitu juga tidak diperbolehkan
memegang sesuatu yang diatasnya ada qur’an (bantal, kursi, kotak, dll). Dan
apabila qur’an tersebut dicampurkan dengan barang-barang lain dan dimasukkan
dalam satu tempat (kardus) maka diperbolehkan untuk memegang tempat tersebut
Dengan demikian, penjelasan tersebut diatas sudah jelas
sekali sangat erat sekali hubungannya
dengan kaidah-kaidah fikih, yang pada dasarnya hokum dari berwudhu’ adalah
sunnah telah berubah keadaan menjadi wajib dikarenakan tujuan utamanya adalah
memegang mushaf al-Qur’an yang diketahui syarat-syarat diperbolehkannya
memegang al-qur’an harus mempunyai wudhu (suci dari hadast kecil dan hadast
besar).
4.
Sedekah kepada fakir miskin
Entah apa yang terjadi di negara ini sehingga pengamen dan
pengemis begitu banyak. Hampir disetiap ruas jalan yang ada di Ibu Kota Indonesia
berderatan pengemis yang mencoba mengugah hati para pejalan yang sedang
melintas berharap memberikan sedikit uang yang ada di kantong pejalan.
Ironisnya, para pengemis tidak hanya melakukan aktivitasnya
di jalanan, mereka juga sesekali atau setiap minggu sekali memadati Masjid saat
ada acara ibadah sholat jum’at.
Kedatangannya bukan turut serta melakukan ibadah sholat jum’at melainkan sedang
menunggu jamaah keluar dari pintu masjid dan berharap akan kemurahan hati untuk
berbagi rizeki.
Memberi uang kepada pengemis dapat dianggap bersedekah. Maka
hukumnya sunnah, karena bersedekah hukum asalnya sunnah. Wahbah az-Zuhaili
berkata,“Sedekah tathawwu’ (sedekah sunnah/bukan zakat) dianjurkan (mustahab)
dalam segala waktu, dan hukumnya sunnah berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah.”
(Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuhu, 3/389).
Dalil Al-Qur`an antara lain (artinya),
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman
yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan
melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (QS
Al-Baqarah [2] : 245).
Pada sisi lain, Dalil As-Sunnah misalnya sabda Nabi
SAW,”Barangsiapa memberi makan orang lapar, Allah akan memberinya makanan dari
buah-buahan surga. Barangsiapa memberi minuman kepada orang haus, Allah pada
Hari Kiamat nanti akan memberinya minuman surga yang amat lezat (ar-rahiq
al-makhtum), dan barangsiapa memberi pakaian orang yang telanjang, Allah akan
memberinya pakaian surga yang berwarna hijau (khudhr al-jannah).” (HR Abu Dawud
no 1432; Tirmidzi no 2373).
Namun hukum asal sunnah ini bisa berubah bergantung pada
kondisinya. Sedekah dapat menjadi wajib. Misalnya ada pengemis dalam kondisi
yang dibolehkan, yakni sudah kelaparan dan tak punya makanan sedikit pun,
sedang pemberi sedekah mempunyai kelebihan makanan setelah tercukupi
kebutuhannya. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuhu, 3/390). Dalam
kondisi seperti ini, sedekah wajib hukumnya. Sebab jika tak ada cara lain
menolongnya kecuali bersedekah, maka sedekah menjadi wajib, sesuai kaidah fiqih
: “.” (Jika suatu kewajiban tak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu
itu wajib pula hukumnya).
5.
Belajar Bhs. Inggris
Itulah nasehat seorang ayah kepada anaknya agar anaknya kelak
menjadi orang yang “sukses”. Tentunya kesusksesan yang dimaksud sang ayah
adalah kesuksesan di dunia yang sangatlah sebentar jika dibandingkan keabadian
akhirat, sedangkan kita sebagai seorang muslim yang percaya akan akhirat maka
kesuksesan adalah apa yang dituntun oleh Al-Qur’an:
فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ
وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَاز
“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam
surga, maka sungguh ia telah beruntung/sukses” (Ali Imran:185)
Syaikh Muhammad bin
nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata
menjelaskan ayat ini,
ومفهوم الآية، أن من
لم يزحزح عن النار ويدخل الجنة، فإنه لم يفز،
بل قد شقي الشقاء
الأبدي، وابتلي بالعذاب السرمدي
“Mafhum ayat
(mukhalafah/kebalikannya, pent), barangsiapa yang tidak dijauhkan dari neraka
dan tidak dimasukkan kesurga maka ia tidak beruntung/sukses, bahkan termasuk
orang yang paling celaka selama-lamanya dan disiksa dengan azab yang kekal.”
(Taisir karimir rahmaan hal 142, Dar Ibnu Hazm, Beirut , cet. I, 1424 H)
Salah satu nasehat sang ayah diatas adalah agar anaknya
menguasai bahasa Inggris, inilah fenomena kaum muslimin saat ini, mereka
menaruh perhatian yang sangat besar dengan bahasa Inggris. Sejak kecil anak
diajarkan dan dibiasakan bahasa Inggris, Kursus-kursus bahasa Inggris menjamur
diberbagai tempat dengan biaya yang cukup tinggi, para pemuda berlomba-lomba
berbahasa Inggris sebagai simbol anak gaul dan bahasa yang keren. Level pendidikan
kurang bonafit levelnya jika tidak memakai bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar.
Hal ini bukanlah tercela karena Bahasa Inggris merupakan hal
yang mubah dan merupakan wasilah sebagaimana ketika Syaikh Al-Utsaimin
rahimahullahu ditanya.
وسئل فضيلة الشيخ :
عن حكم تعلم اللغة الإنجليزية في الوقت الحاضر؟
“Apa hukum mempelajari bahasa Inggris sekarang ini?”.
فأجاب فضيلته:
بقوله: تعلمها وسيلة، فإذا كنت محتاجاً إليها كوسيلة في الدعوة
إلى الله فقد يكون
تعلمها واجباً ، وإن لم تكن محتاجاً إليها فلا تشغل
وقتك بها واشتغل بما
هو أهم وأنفع، والناس يختلفون في حاجتهم إلى تعلم اللغة الإنجليزية
Beliau Menjawab: “
Mempelajarinya Adalah Wasilah, Jika Engkau Membutuhkannya Sebagai Wasilah
Berdakwah Kepada Allah Maka Hukumnya
Wajib, Jika Engkau Tidak Membutuhkannya Maka Janganlah Engkau Menyibukkan
Waktumu Dengannya, Sibukkanlah Dirimu Dengan Yang Lebih Penting Dan Bermanfaat,
Dan Manusia Berbeda-Beda Kebutuhannya Terhadap Bahasa Inggris (Kitabul ilmi
hal 93, Darul itqon Al Iskandariyah).
Bahkan syaikh Al-Utsaimin rahimahullahu berandai-andai bisa berbahasa Inggris,
“Aku sendiri berangan-angan, andai saja aku bisa menguasai
bahasa Inggris. Sungguh, aku melihat
terdapat manfaat yang amat besar bagi dakwah jika saja bahasa Inggris bisa
kukuasai. Karena jika kita tidak menguasai bahasa tersebut, bagaimana kita bisa
berdakwah jika ada yang masuk Islam di hadapan kita.” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh
kaset no. 61, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dinukil dari
rumaisyo.com)
Jadi, dalam kondisi seprti itu terjadi perubahan hokum yang
pada asalnya tidak wajib maka menjadi wajib disebabkan bahasa inggris merupakan
salah satu wasilah atau perantara untuk tercapainya berdakwah.
6.
Infaq vs penjahat
Infaq adalah mengeluarkan harta yang mencakup zakat dan non
zakat. Infaq ada yang wajib dan ada yang sunnah. Infaq wajib di antaranya
zakat, kafarat, nadzar, dll. Infak sunnah di antara nya, infak kepada fakir
miskin sesama muslim, infak bencana alam, infak kemanusiaan[9].
Hukum memberi Infaq kepada pemberontak (gerombolan) sekarang
adalah Haram pula karena berontak itu menurut keterangan di atas tadi adalah
Haram. Maka memberi Infaq itu Haram karena qaedah Ushul Fiqh : أن للوسائل حكم المقاصد artinya : Wasilah kepada
sesuatu yang dimaksud, hukum sesuatu yang dimaksud itu.
Adapun yang dimaksud dengan Infaq sekarang adalah untuk
berintak, sedangkan berontak itu adalah Haram. Jadi yang menjadi wasilah Haram
hukumnya Haram pula. Tersebut dalam Hadits Shahih : من
أعان على معصية ولو بشطر كلمة كان شريكا لها artinya : Siapa yang
menolong atas Maksiat walaupun denga setengah patah kata kalimat atau dengan
sesuku uang, maka orang yang menolong itu maksiat juga. AL-HASIL : Bagi kita
Rakyat tidak ada perintah : واحكم بما أنزل الله
Hanya Perintah Tuhan itu
diberatkan atas Pemerintah dan bagi Ulama wajib menasehati mereka (Pemerintah)
bukan dengan jalan memberontak. لعلهم يتذكرون
Kalau pemberontak (gerombolan) sekarang tidak akan berontak
lagi, hanya nama saja D.I. (Darul Islam) atau Daulah Islamiyah atau nama apa
saja menurut kesukaan dan tempat mereka, maka hukum Infaq itu sama saja dengan
hukum uang iuran partai, asal saja memintanya tidak dengan dipertakut-takut.
Jadi hukumnya Infaq yang demikian macam adalah hukum sedeqah biasa saja, jika
yang memberipun dengan segala senang hati pula.
7.
Dakwah
. Dakwah adalah
Wajib ‘Ain Bagi setiap Muslim (Tanpa memandang Pria atau Wanita)
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ
بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ [النحل/125]
Amar Ma’ruf - Nahi Munkar adalah hasba al-istitha’ah
(semampunya) dari sisi individu, dan Fardhu Kifayah dari sisi keseluruhan kaum
muslimin
عن أبي سعيد سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من رأى منكم منكرا
فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان . (صحيح
مسلم - ج 1 / ص 167)
عن حذيفة بن اليمان عن النبي صلى الله عليه وسلم قال والذي نفسي بيده
لتأمرن بالمعروف ولتنهون عن المنكر أو ليوشكن الله أن يبعث عليكم عقابا منه ثم
تدعونه فلا يستجاب لكم . (رواه الترمذي)
عن النعمان بن بشير رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال مثل
القائم على حدود الله والواقع فيها كمثل قوم استهموا على سفينة فأصاب بعضهم أعلاها
وبعضهم أسفلها فكان الذين في أسفلها إذا استقوا من الماء مروا على من فوقهم فقالوا
لو أنا خرقنا في نصيبنا خرقا ولم نؤذ من فوقنا فإن يتركوهم وما أرادوا هلكوا جميعا
وإن أخذوا على أيديهم نجوا ونجوا جميعا . (صحيح البخاري - ج 8 / ص 399)
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [الأنفال/25]
Hukum
Mendirikan Jama’ah yang melakukan aktivitas Dakwah dan Amar Ma’ruf - Nahi
Munkar adalah Fardhu Kifayah
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
[آل عمران/104]
Hukum asal Bergabung dengan Jama’ah yang melakukan aktivitas
Dakwah dan Amar Ma’ruf - Nahi Munkar adalah Mubah, atau Mandub dari sisi bahwa
amal secara berjama’ah adalah amal yang dicintai Allah swt. Baik bagi pria
maupun wanita.
وعن عرفجة قال :
سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : يد الله مع الجماعة والشيطان مع من
خالفهم يركض . رواه الطبراني ورجاله ثقات . (مجمع الزوائد - ج 5 / ص 400)
Hukum Bergabung dengan Jama’ah diatas bisa menjadi Wajib demi
Kesempurnaan Kewajiban Menerapkan Syari’ah Secara Menyeluruh sampai batas yang
mencukupi dalam merubah system Demokrasi menjadi system Islam. Berdasarkan
kaidah yang mujma’ ‘alaiha:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Yang disarikan dari ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
[المائدة/6]
Dengan
tahqiq sebagai berikut:
Sistem demokrasi yang tidak ada di masa nabi saw. sehingga
beliau dahulu melakukan tholabun-nushrah dahulu kepada penguasa yatsrib baru
rekrutmen oleh Mus'ab bin 'Umair, bukan rekrutmen baru thalabun-nushrah. karena
kekuatan demokrasi berada di tangan rakyat bukan di kepala kabilah sebagaimana
di masa nabi saw.
عن عبد الله بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
يقول كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته ... والمرأة راعية في بيت زوجها ومسئولة عن
رعيتها ... (صحيح البخاري - ج 3 / ص 414)
Namun tidak menggugurkan kewajiban-kewajibannya yang lain,
seperti kewajiban shalat dan zakat yang terikat oleh waktu, ataupun kewajiban
dakwah dan menuntut ilmu yang tidak terikat oleh waktu. Sebagaimana pula
kewajiban laki-laki atas keluarganya:
عن عبد الله بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
يقول كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته الإمام راع ومسئول عن رعيته والرجل راع في
أهله وهو مسئول عن رعيته ... (صحيح البخاري - ج 3 / ص 414)
Juga tidak menggugurkan kewajiban-kewajibannya yang lain,
seperti kewajiban shalat dan zakat yang terikat oleh waktu, ataupun kewajiban
dakwah dan menuntut ilmu yang tidak terikat oleh waktu.
Penjelasan
kaidah:
الأصل في الدليل للإعمال
hukum
asal dalil syara' adalah al-i'mal (untuk diamalkan)
إعمال الدليلين أولى من إهمال أحدهما أو إهمالهما معا
mengamalkan dua dalil yang memungkinkan dikompromikan lebih
utama dari menelantarkan salah satunya atau menelantarkan keduanya secara
bersamaan.
maka
seluruh tuntunan syara' selama memungkinkan untuk tidak berbenturan menuntut
untuk diamalkan.
Hanya saja, perlu penjelasan lebih lanjut di titik ini
terkait awlawiyyat (prioritas) yang diambil dan bagaimana apabila terjadi
ta’arudh (benturan) antara kewajiban-kewajiban tersebut. Kewajiban wanita
sebagai Ibu dan Pengatur Rumah adalah utama, berdasarkan hadits Ibnu Umar
diatas dan hadits Abu Hurairah berikut.
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه
وسلم قال لو كنت آمرا أحدا أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها (سنن الترمذى
- ج 4 / ص 386)
Sehingga lebih diutamakan dari kewajiban berdakwah dalam
jama’ah. Terkait hak-hak suami juga tidak boleh dilanggar, misal perizinan
keluar rumah dll. Ketaatan kepada suami harus berada diatas ketaatan kepada
Amir Jama’ah.
Artinya, wanita tidak berdakwah secara berjama’ah terlebih
dahulu sebelum tugas-tugasnya sebagai Ibu dan Pengatur Rumah selesai, jika
terjadi benturan yang tak terhindarkan maka memilih tugas sebagai Ibu dan
Pengatur Rumah daripada sebagai Pengemban Dakwah dalam jama’ah.
Harus berlandaskan Ideologi yang shahih, yaitu Islam.
Sehingga terpancar darinya hukum-hukum atau aturan-aturan administratif yang
mampu mengakomodasi para anggotanya dalam segala kondisinya sebagai mukallaf.
Khususnya untuk wanita, maka secara administratif jama’ah
yang shahih akan meletakkan ketaatan kepada suami melebihi ketaatan kepada
pimpinan jama’ah itu sendiri, sehingga ketika wanita memilih ketaatan kepada
suaminya daripada kepada pimpinan jama’ah tatkala terjadi benturan, tidak
menjadikan pelanggaran sekalipun meski demikian si wanita tidak bersalah. Juga
tidak memberi taklif yang bisa mengakibatkan ta'thil terhadap kewajiban
pokoknya, misal jam kegiatan yang padat. Juga tidak memberi taklif yang keluar
dari tabi'atnya sebagai wanita dan membahayakan, misal mendakwahi laki-laki
ajnabi dan thalabun-nushrah dll.
Letak
Penggunaan Kaidah (ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب) dalam Wajibnya Wanita Berharokah
Kewajiban jihad, menerapkan hudud, qishash/jinayat, dll,
tidak bisa diwujudkan tanpa menegakkan khilafah, maka wajib bagi seluruh kaum
muslimin untuk menegakkan khilafah.
Mengingat penegakan khilafah harus melalui ‘amal jama’i
(aktivitas kelompok), berdasarkan naql dan ‘aql. Naql, adalah bagaimana Nabi
saw mendirikan Dawlah secara berjama’ah (sirah beliau saat fase Mekah), ‘Aql,
adalah mendirikan Dawlah tidak bisa dilakukan secara individu / seorang diri,
Maka,
mendirikan khilafah wajib dengan aktivitas berkelompok.
Pada titik ini lah berlaku kaidah (ما
لا يتم الواجب إلا به فهو واجب).
Yaitu aktivitas berkelompok yang awalnya tidak wajib (mubah) menjadi wajib
karena tanpanya suatu kewajiban (yaitu tegaknya khilafah) tidak bisa
diwujudkan, yang untuk selanjutnya berbagai kewajiban diatas tidak bisa
dilaksanakan. Dan tidak ada cara lain, karena selain secara berkelompok hanya
ada satu alternative yaitu secara individu, dan itu tidak mungkin selain juga
tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw.
C.
Analisis
- Memenuhi Janji
Anak merupakan harta yang sangat berharga bagi orang tua, tak
pelak orang tua selalu mengutamakan kepentingan anaknya daripada dirinya
sendirinya karena anak merupakan harta yang tidak perna tertandingi oleh
apapun.
Dalam konsep ini, jika seorang ayah dan ibu berjanji
menjadikan anaknya bahagia, maka pada hakikatnya merupakan sebuah kaharusan
untuk senantiasa orang tua agar membahagiakan anaknya, dan pada saat seoarang
anak menginginkan untuk menikah, dan itu merupakan keinginan seorang anak yang
kemudian jika tak terpenuhi mengakibatkan penderitaan yang mendalam bagi
seorang anak dan sebaliknya jika hal itu terpenuhi maka anak tersebut akan
mendapatkan kebahagian.
Dalam kondisi seperti ini, janiji adalaha janji yang pada
kenyataanya harus ditepati sehingga ada sebutan janji adalah hutang yang wajib
dabayar, dengan demikian karena orangtua telah berjanji akan membuat anaknya
bahagia, maka suatu kewajiban bagi orang tua untuk menikahkan anaknya karena
menikahkan anaknya merupakan wasilah atau perantara untuk memenuhi janjinya dan
menikahkan anak merupakan sarana kebahagian yang telah dijanjikan.
Waalahu
a’lam
- Saran Pendidikan
Tujuan menuntut ilmu merupakan kewajiban atas semua muslim
baik laki-laki maupun perempuan, dalam hal ini Negara hususnya Indonesia
yang mengayomi masyarakat islam tentunya mempunyai kewajiban untuk memenuhi
seluruh kebutuhan selurruh lapisan masyarakat.
Dalam dunia pendidikan, Negara Indonesia tentunya mempunya beban
untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya tentunya pada saat masyarakat ingin
menuntut ilmu yang sejak Islam dating telah mewajibkan seluruh umatnya agar
senantiasa menuntut ilmu sesuai hadist dibawah ini:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى
كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim” [HR. Ibnu
Majah, no:224, dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam Shahih Ibni Majah].
Dengan dimekian, sarana atau wasilah dalam memenuhi kewajiban
tentunya hukumnya wajib pula ada, sperti halnya adanya lembaga pendidikan, dan
sarana-sarana lainya yang mendukung proses tejadiya belajar. Sehingga mau tidak
mau agar proses belajar mengajar dapat terpenuhi dengan baik dan sesuai dengan
tujuan utama maka diperlukannya saran atau wasilah untuk memenuhi tujuan
tersebut sehingga adanya saran/wasilah menjadi wajib hukumnya.
BAB
VI
PENUTUP
A.
Kesimpulan
للو سائل حكم المقاصد
Artinya;
“Hukum
sarana/wasilah adalah sama dengan hukum tujuan
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“Jika
sebuah kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu
wajib pula hukumnya
Anatar keduanya mempunyai kesamaan bahwa setiap
melakukan suatu perbuatan yang bersifat wajib, namun masih ada syarat yang
harus dipenuhi maka syarat/perantara/saran menjadi wajib pula karena tanpa
adanya tersebut maka suatu perbuatan (tujuan utama) tidak akan tercapai.
B.
Kritik dan Saran
Manusia
merupakan makhluk yang tidak pernah luput dari kesalahan, begitupula
dengan penulis, tentunya masih banyak kesalahan yang masih perlu diperbaiki.
Untuk itu sebagai penulis makalah ini sangat berharap
adanya kritikan dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini
sehingga nantinya dapat menjadi pedoman kita bersama.
DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli, kaidah-kaidah Fiqh (Jakarta : Kencana 2010) cet. 3
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fikih (Jakarta : Kencan, 2003)
Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Study Islam (Jakarta : Kencana, 2005)
Manna Khalil Al-Qattan, Study al- Qur’an (Bogor : pustaka lintera
antar Nusa: 2001)
Abd. Shomad “Hukum Islam (Jakarta : kencana, 2010)
Abd. Aziz dkk, Fiqh Ibadah (Jakarta : Amzah, 2009)
Jail Mubarak, Modifikasi Hukum Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2002
[1] A.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh (Jakarta :
Kencana 2010) cet. 3 Hal. 96
[2] Ibid hal
96
[3] Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fikih (Jakarta : Kencan, 2003) Hal 20-25
[4] Jail
Mubarak, Modifikasi Hukum Islam (Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 2002) hal. 70
[5] Jail
Mubarak
[6] Muhaimin
dkk, Kawasan dan Wawasan Study Islam (Jakarta : Kencana, 2005) hal 83
[7] Manna
Khalil Al-Qattan, Study al- Qur’an (Bogor : Pustaka Lintera Antarnusa: 2001) terj.
Hal 34
[8] Abd.
Shomad, Hukum islam (Jakarta : Kencana, 2010)
hal 134
[9] Abd.
Aziz dkk, Fiqh Ibadah (Jakarta :
Amzah, 2009) hal 201
Tidak ada komentar:
Posting Komentar