HERMENEUTIKA DAN SEMIOTIKA
OLEH:
AUDIFAX
Peneliti di IISA-Surabaya, Penulis
buku “Mite Harry Potter”(2005, Jalasutra)
There’s
a sign on the wall
But
she wants to be sure
’cause
you know sometimes words have two meanings.
(Stairway
to Heaven – Led Zeppelin)
Manusia
adalah mahkluk yang berada dalam teks-teks. Di milis, kita berjumpa dengan
teks. Di perkuliahan kita berjumpa dengan teks. Di lingkup agama kita berjumpa
dengan teks. Dan masih banyak lagi peristiwa, tempat, waktu di mana kita
berjumpa dengan teks. Maka dari itu, terdapat banyak cara untuk memahami teks
tersebut. Dua di antaranya yang akan saya bahas dalam tulisan ini adalah
Hermeneutika dan Semiotika. Apa itu hermeneutika dan semiotika? Kita lihat
sekilas dulu sebelum masuk pada pembahasan lebih detil.
Semiotik
atau semiology, adalah studi tentang tanda, baik tanda yang tampil individu
atau dalam suatu kelompok sistem tanda. Meliputi pula studi bagaimana
memaknakan tanda dan memahaminya. Seorang semiotis kerapkali bahkan juga
menguji bagaimana organisme, baik besar kecil, membuat prediksi mengenainya dan
mengadaptasinya pada ceruk-ceruk penjelasan semiotik yang begitu beragam di
dunia ini[1].
Dalam semiotika, tanda kerapkali dirujukkan pada teks. Sejak pertama kali
dikonsepkan secara utuh oleh Ferdinand de Saussure, semiotika banyak berkutat
dengan teks.
Hermeneutik,
adalah teknik filosofis yang memberi perhatian pada interpretasi dan pemahaman
teks. Hermeneutik juga kerap dijabarkan sebagai teori interpretasi dan
pemahaman sebuah teks dengan berbasis teks itu sendiri. Seorang hermeneutis
yang menginterpretasi suatu teks, dia bisa melakukan secara informal, bisa pula
melakukan dengan menghubungkan dengan teori interpretasi tertentu[2].
Konsep
“teks” di sini tak terbatas pada sesuatu yang tertulis, tapi meliputi pula
ujaran, penampilan, karya seni, dan bahkan peristiwa. Di sini sebenarnya bisa
pula dikatakan interpretasi “teks sosial”. Bahkan simbol-simbol pun, sebenarnya
merupakan teks. Termasuk simbol-simbol dalam mimpi seseorang
SEKILAS
HERMENEUTIK
Hermeneutika,
metode tafsir teks yang namanya diambil dari salah satu dewa Yunani, Hermes.
Dewa yang satu ini, adalah penghubung dan pembawa pesan kepada manusia. Manusia
menjadi mengerti makna pesan dari dewa-dewa di Olimpus yang sifatnya “Ilahiah”
karena peran dari Hermes. Kurang lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah
karakter dari metode Hermeneutika.
Meski
bisa jadi tak banyak yang setuju, Sigmund Freud bisa jadi merupakan salah satu
peletak kunci hermeneutik ketika ia menulis buku The Interpretation of Dreams.
Model-model interpretasi mimpi lain, bisa jadi juga bersifat hermeneutis ketika
menempatkan mimpi sebagai pesan dari suatu kekuatan yang besar, ketika mereka
menginterpretasi berdasar kekuatan subyektivitas masing-masing penafsir. Kita
bisa melihat ini pada sejarah Yunani dan Ibrani di mana mimpi kerap menjadi
kunci dalam kehidupan. Kisah dari nama-nama seperti Yusuf, Daniel, Abraham dan
sejumlah nama lagi, membuktikan kekuatan mereka dalam hermeneutika dalam
menafsir mimpi. Dalam kisah-kisah itu, Mimpi dianggap pesan dari suatu entitas
Ilahi. Di Yunani, tafsir hermeneutis berkembang dalam puisi-puisi. Salah satu
yang terkenal adalah karya-karya Homer.
Dalam
perkembangannya, sejumlah tokoh memberi sumbangan dalam perkembangan
hermeneutik. Di antaranya adalah: Friedrich Schleiermacher yang mengeksplorasi
kesejatian dari pemahaman dalam hubungannya tak hanya dengan teks-teks suci,
tetapi juga semua teks manusia dan model-model komunikasi. Interpretasi teks
harus diproses dengan mem-framing isi dalam term yang bisa mengorganisasinya
dalam suatu pemahaman tertentu. Schleiermacher membedakan antara interpretasi
grammatikal dan interpretasi psikologis.
Wilhelm
Dilthey memperluas hermeneutik dengan menghubungkan interpretasi hermeneutis
pada semua objek yang bersifat historis. Memahami pergerakan dari apa yang
tampak di permukaan dari tindakan manusia dan bagaimana mengeksplorasi makna di
dalam tindakan tersebut. Dilthey menjelaskan bahwa apa yang bergerak dari luar
ke dalam, dari “ekspresi” menuju “yang diekspresikan”, bukan berbasis empati.
Kenapa? Karena empati melibatkan suatu identifikasi langsung dengan orang lain.
Interpretasi melibatkan suatu yang tidak langsung atau dimediasi oleh pemahaman
yang hanya bisa terjadi dengan menempatkan ekspresi manusia dalam konteks
historikal. Memahami bukan sebuah proses merekonstruksi pemikiran dari si
pemaham (author), tetapi lebih suatu artikulasi apa yang diekspresikan dalam
yang tengah berjalan.
Semenjak
Dilthey, disiplin hermeneutik telah beranjak keluar dari sentral tugasnya
semula dan berkembang dengan spektrum yang meliputi semua jenis teks, meliputi
multimedia dan memahami dasar pemaknaan. Lalu, muncullah Martin Heidegger yang
mendorong lebih jauh batas hermeneutik dari interpretasi menuju pemahaman
eksistensial dalam semangat bagaimana melakukan pemahaman terhadap meng-Ada
secara otentik dan secara sederhana menempatkannya sebagai suatu cara
mengetahui (way of knowing). Pendekatan inilah yang kemudian banyak memberi
kontribusi pada fenomenologi, sebuah aliran yang anti-teori dan
anti-positivisme.
Setelah
Heidegger, muncul nama Hans-Georg Gadamer. Dalam bukunya “Truth and Method”,
Gadamer yang merupakan murid Heidegger, mengembangkan sebuah metode hermeneutis
yang mengupas kebenaran. Nama lain yang memberi banyak kontribusi bagi
pengembangan hermeneutik adalah Paul Ricoeur. Tentang Hermenutika Paul Ricoeur,
rekan Bagus Takwin telah membahas secara lebih detil pada esei “Sekilas
Hermeneutika Paul Ricoeur” , bisa dilihat di milis Psikologi Transformatif pada
link berikut: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/6017 serta tulisan berjudul: Epoche dan
Distanciation – dalam Fenomenologi Hermeneutik Paul Ricoeur di link:http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/6018
SEKILAS
SEMIOTIK
Ada dua tokoh penting dalam semiotika, yaitu Ferdinand de
Saussure dan Charles Sanders Pierce. Meski semiotika sendiri sebenarnya sudah
ada sejak masa sebelum mereka, tapi keduanya dianggap sebagai peletak dasar
konsep semiotika. Selanjutnya sejumlah semiotisian, mengembangkan metode
analisis tanda ini berdasar apa yang telah diletakkan oleh Saussure dan Pierce.
Saussure mengemukakan dua konsep dalam semiotika, yaitu
penanda dan petanda. Keduanya, mengarakterisasi “tanda”. Jadi, dalam setiap
“tanda” ada unsur “penanda” dan “petanda”. Penanda adalah konsep akustik atau
suara. Sedangkan petanda adalah konsep mental. Misalnya: konsep mental mengenai
mahkluk dengan ciri: berkaki empat, berbulu, setia, banyak dipelihara di rumah,
kalau kencing kakinya diangkat satu, dianggap najis oleh agama tertentu; konsep
mental itu menyatu dengan konsep akustik “anjing”. Jadi ada sebuah tanda yang
menyatukan antara konsep akustik “anjing” dan konsep mental mahkluk tertentu.
Saussure menjelaskan bahwa hubungan antara penanda dan
petanda ini bersifat arbitrer, manasuka, atau bahasa jawanya “Sak karepe”.
Lho? Iya. Coba saja lihat. Untuk konsep mental yang sama, orang Inggris
menyebut “Dog”, orang Jawa “Asu”, itupun masih ada bahasa yang lebih halus yang
menyebut “Segawon”. Di daerah tertentu disebut juga “guk-guk”. Filosofi arbiter
ini, tak pelak memengaruhi sejumlah pemikiran yang kelak muncul sesudah
Saussure, seperti Derrida, Barthes, Baudrillard, dll.
Pierce, sedikit berbeda dengan Saussure. Ia mendefinisikan
semiotik sebagai
"...action, or influence, which is, or involves, a
cooperation of three subjects, such as a sign, its object,
and its interpretant, this tri-relative influence not being in any way
resolvable into actions between pairs."
Jadi, jika Saussure menjelaskan dalam tanda ada unsur
penanda dan petanda, Pierce justru melihat ada tiga hal penting dalam semiotika
yang bisa dijelaskan melalui Tanda, objek, dan interpretan. Tanda, mirip dengan
apa yang dijelaskan Saussure dengan penanda. Jadi kata “anjing” adalah tanda.
Objek adalah anjingnya itu sendiri, yang hidup dan berlari dan bisa menggigit
dsb. Sedangkan interpretan mirip dengan konsep mental yang dijelaskan oleh
Saussure.
Dalam penjelasan mengenai hermenutik, saya menghadirkan
contoh mimpi yang ditafsir secara hermeneutis. Pada penjelasan mengenai
semiotik ini, saya juga akan menghadirkan contoh mengenai mimpi. Bagaimana
mimpi ditafsirsecara semiotis? Jika secara hermeneutis, saya menghadirkan
Freud, maka secara semiotis saya menghadirkan Carl G. Jung. Ini bisa jadi juga
banyak yang tak setuju, mengingat dalam perkembangan semiotis, justru Freud
yang lebih berperan, terutama pada tokoh-tokoh seperti Jacques Lacan, Julia
Kristeva, Luce Irigaray, Jacques Derrida, dll. Tapi saya punya argumen. Jung
lebih semiotis pada teorinya, ketimbang Freud, karena Jung mempertimbangkan
sinkronisitas.
Mimpi dalam kajian Jung, dilihat maknanya berdasarkan
sinkronisitasnya dengan arketipe. Setiap mimpi, memuat arche atau bentuk
anterior yang mendahului “Ada”. Arche ini adalah sesuatu yang tak terjelaskan,
namun ia hadir membawa pesan yang bisa dikoding “hanya” oleh si penerima pesan
“dengan memperhatikan pula” keterkaitan pesan itu dengan pesan lain yang
muncul. Misalnya, Jung pernah menemukan seorang perempuan di Barat yang
bermimpi persis dengan salah satu cerita mitologi di Cina, padahal si perempuan
sama sekali belum pernah mengetahui cerita tersebut. Inilah archetype. Arche
yang muncul dalam tipe atau bentuk khusus. Makna atau pesan yang ada dalam
mimpi anak perempuan itu, memiliki keterkaitan dengan mite di Cina.
Nah, sinkronisitas inilah yang sejalan dengan “hukum”
sinkronik dan diakronik dari semiotik. Sebuah tafsir semiotik, selalu
disejajarkan dengan kehadiran sesuatu yang lain dalam sebuah sistem. Saya akan
gambarkan sebagai berikut: Saat kita makan malam, pada saat bersamaan hadir
piring, garpu, sendok, meja makan, mungkin pisau, mungkin lilin, dan berbagai
pernik lain. Satu sama lain ini berhubungan jadi ketika kita menafsir sendok
dalam konteks makan malam, ia bukan sesuatu yang terlepas dari pernik lain.
Inilah sinkronik. Begitu pula ketika “proses” makan malam itu telah terjadi,
masing-masing pernik ini “berjalan”. Lilin terbakar habis. Piring terisi, lalu
kosong. Garpu, sendok, pisau menjalankan fungsinya. Nah, dalam “proses” ini,
yang satu berhubungan dengan yang lain, inilah diakronik.
Saya akan paparkan sebuah contoh menarik dari liputan
Jakarta Pos tentang seminar yang dilakukan Vincent Liong berikut (lihat http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/6710)
:
"Ask a question, slice the fruit,
see the surface and feel it. The fruit can tell what you want to know," he
said.
"Ask a question," Vincent
told a student.
"Tell me about my sister's
relationship with his boyfriend," said one participant.
Vincent cut a cucumber and scrutinized
the surface.
"The boyfriend is ignoring her. But she's putting up
with it. She's very patient," Vincent said with confidence.
"Eventually, she will be tired of the situation. You don't have to tell
her to leave him, she'll do it."
Perhatikan taktik pemindahan antara penanda dan petanda
(jika kita memakai konsep Saussurean), antara tanda, objek, dan interpretan
(jika kita memakai konsep Piercean), serta sinkronisitas dan diakronisitas di
dalamnya. Ini adalah permainan semiotis. Buah adalah simbol atau penanda atau
tanda. Kita bisa meletakkan secara arbitrer dengan “konsep mental” mengenai
relasi seorang perempuan dan kekasihnya.
Sama seperti orang Jawa melekatkan secara arbitrer
“segawon” dengan konsep mental mahkluk tertentu, yang orang Inggris justru
melekatkan “dog”, di situ kita lihat walau arbitrer, tapi bukan berarti
sepenuhnya tidak berhubungan. Ada sesuatu yang dalam semiotika disebut dengan
strukturalisme. Nah, inilah yang dipraktekkan Vincent. Dia melekatkan pula
secara arbiter antara “Timun” dan “relasi A dan B”. Apakah sepenuhnya tidak
berhubungan? Pada kenyataannya terdapat suatu seperti strukturalisme yang
terjadi pada “segawon”, “dog”, “anjing”, “asu” dsb. itu.
Inilah sebuah permainan yang saya istilahkan dualitas dua
hal berlawanan. Derrida menjelaskan ini melalui differance dan dekonstruksi.
Tao menjelaskan dalam konsep: Kosong adalah berisi, berisi adalah kosong. Apa
artinya semua itu? Bahwa dalam kekaburan, terdapat kejelasan. Dalam kekosongan
terdapat pula keberisian. Dalam ketaktahuan terdapat pula pengetahuan. Dan
seterusnya. Jadi tak ada mata uang yang terdiri dari satu sisi. Kenapa kita tak
mampu memahami itu semua? Karena cara berpikir kita terjebak dalam bahasa.
Dalam bahasa, berisi tak mungkin kosong, begitu pula sebaliknya. Permainan
kecil Vincent itu sebenarnya adalah sebuah permainan yang mengajak untuk
melampaui bahasa. Kenapa? Tujuannya adalah melampaui “keterbatasan pikiran”
yang terbiasakan oleh bahasa.
PERBEDAAN
HERMENUTIKA DAN SEMIOTIKA
Metode Hermeneutik, awalnya merupakan metode interpretasi
terhadap teks-teks suci yang kebanyakan ada pada kitab suci. Semiotika lebih
banyak digunakan dalam studi kultural. Sekilas, dari sisi kegunaannya untuk
analisis teks, Hermeneutika terlihat mirip dengan semiotika. Namun, ada
karakteristik khusus dari hermeneutik yang membedakannya dari semiotika, yaitu
kekuatan subyektivitas penafsirnya. Semiotika, berbeda dari hermeneutik,
memiliki penekanan pada sisi diakronik dan sinkronik dari teks.
Hermeneutik, menurut hemat saya, akurasinya mengandalkan
pada ketajaman kemampuannya, serta bagaimana ia bisa secara tulus, genuine
menginterpretasi sesuatu. Tafsir-tafsir hermeneutis, bisa kita lihat
kualitasnya dalam masyarakat kita, seperti bagaimana pengakuan seorang bom
bunuh diri tentang apa yang ditafsirkannya tentang kematian. Di milis psikologi
transformatif, kita bisa melihat banyak sekali tafsir-tafsir hermeneutis,
terutama berkaitan dengan agama. Terutama di sini tentang Tao dan pada sejumlah
tulisan dari web Islam yang dengan rutin selalu diforward ke milis psikologi
transformatif.
Khotbah-khotbah agama, ramalan (dalam sejumlah tipikal
tertentu), interpretasi psikologi (dalam kasus tertentu pula) seringkali juga
dilakukan secara hermeneutis. Beberapa bahkan tanpa dilandasi adanya kemampuan
untuk menghasilkan akurasi Dalam kasus ramalan yang dilakukan secara
hermeneutis dengan daya akurasi kurang, bisa anda baca pada esei Leo berjudul “pengakuan
seorang peramal”. Apakah tidak ada orang yang bisa menebak langsung dan benar?
Kenyataannya ada. Tapi hanya sedikit yang memiliki kepekaan hermeneutis tinggi
seperti itu. Lebih banyak yang tidak memiliki tapi berlagak memiliki. Sama juga
dengan psikolog yang ketika pertama melihat orang lalu berlagak tahu dengan
menebak ini-itu.
Semiotika, mengandalkan pada kekuatan menghubungkan
sesuatu dengan yang lain. Tarot misalnya, bekerja dalam azas semiotis karena
mengandalkan pada sinkronisitas. Baik sinkronisitas antara simbol-simbol dalam
kartu dan simbol-simbol arkais, juga sinkronsitas antara pewacana dan klien.
Inilah sebenarnya yang seringkali dijelaskan oleh Vincent dan Leo sebagai kerangka
ilmiah dalam “meramal”. Memang apa yang dilakukan bisa ditempatkan dalam
konteks ilmiah, karena sisi sinkronik dan diakronik dalam semiotika, memiliki
sejumlah kemiripan dengan hukum validitas dan reliabilitas dalam ilmu
pengetahuan.
Semiotika pun membutuhkan penguasaan dengan level
tertentu untuk menghasilkan akurasi. Seseorang yang hanya memelajari sesuatu
secara parsial, akan sulit menjalankan metode ini. Semiotika mensyaratkan suatu
rentang pembelajaran yang luas. Itulah sebabnya di psikologi metode semiotika
ini masih asing, karena mereka cenderung meng-ekslusi hal-hal lain seperti
filsafat, sosiologi sebagai sesuatu yang tak perlu secara mendalam dipelajari.
Semiotika mensyaratkan untuk memelajari akar pemahaman dari tanda dan simbol
itu sendiri, serta mempraktekkannya dalam kehidupan, maka tak ada cara lain
selain memelajari manusia, juga harus berusaha memahami filosofi serta budaya
dalam masyarakat, yang celakanya ada pada ilmu di luar psikologi.
©
Audifax – 5 Mei 2006
NB:
Saya mem-posting esei ini
ke milis Psikologi Transformatif, Vincent Liong, R-ManiaMungkin akan ada
rekan-rekan dari milis-milis tersebut yang akan mem-forward esei ini ke sejumlah milis lain.
Karena keterbatasan waktu, saya hanya akan menanggapi diskusi di milis Psikologi
Transformatif. Melalui esei
ini pula saya mengundang siapapun yang tertarik untuk berdiskusi dengan saya
untuk bergabung di milis psikologi transformatif (www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif)
CATATAN-CATATAN:
[2] Anonim; Hermeneutic; retrieved 5 Mei 2006; Online
documenst: http://en.wikipedia.org/wiki/Hermeneutics
Love
cheap thrills? Enjoy PC-to-Phone calls to 30+
countries for just 2¢/min with Yahoo! Messenger with Voice.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar