Rabu, 14 Maret 2012

hermeneotika


HERMENEUTIKA DAN SEMIOTIKA

OLEH:
AUDIFAX
Peneliti di IISA-Surabaya, Penulis buku “Mite Harry Potter”(2005, Jalasutra)


There’s a sign on the wall
But she wants to be sure
’cause you know sometimes words have two meanings.

(Stairway to Heaven – Led Zeppelin)

Manusia adalah mahkluk yang berada dalam teks-teks. Di milis, kita berjumpa dengan teks. Di perkuliahan kita berjumpa dengan teks. Di lingkup agama kita berjumpa dengan teks. Dan masih banyak lagi peristiwa, tempat, waktu di mana kita berjumpa dengan teks. Maka dari itu, terdapat banyak cara untuk memahami teks tersebut. Dua di antaranya yang akan saya bahas dalam tulisan ini adalah Hermeneutika dan Semiotika. Apa itu hermeneutika dan semiotika? Kita lihat sekilas dulu sebelum masuk pada pembahasan lebih detil.

Semiotik atau semiology, adalah studi tentang tanda, baik tanda yang tampil individu atau dalam suatu kelompok sistem tanda. Meliputi pula studi bagaimana memaknakan tanda dan memahaminya. Seorang semiotis kerapkali bahkan juga menguji bagaimana organisme, baik besar kecil, membuat prediksi mengenainya dan mengadaptasinya pada ceruk-ceruk penjelasan semiotik yang begitu beragam di dunia ini[1]. Dalam semiotika, tanda kerapkali dirujukkan pada teks. Sejak pertama kali dikonsepkan secara utuh oleh Ferdinand de Saussure, semiotika banyak berkutat dengan teks.

Hermeneutik, adalah teknik filosofis yang memberi perhatian pada interpretasi dan pemahaman teks. Hermeneutik juga kerap dijabarkan sebagai teori interpretasi dan pemahaman sebuah teks dengan berbasis teks itu sendiri. Seorang hermeneutis yang menginterpretasi suatu teks, dia bisa melakukan secara informal, bisa pula melakukan dengan menghubungkan dengan teori interpretasi tertentu[2].

Konsep “teks” di sini tak terbatas pada sesuatu yang tertulis, tapi meliputi pula ujaran, penampilan, karya seni, dan bahkan peristiwa. Di sini sebenarnya bisa pula dikatakan interpretasi “teks sosial”. Bahkan simbol-simbol pun, sebenarnya merupakan teks. Termasuk simbol-simbol dalam mimpi seseorang

SEKILAS HERMENEUTIK
Hermeneutika, metode tafsir teks yang namanya diambil dari salah satu dewa Yunani, Hermes. Dewa yang satu ini, adalah penghubung dan pembawa pesan kepada manusia. Manusia menjadi mengerti makna pesan dari dewa-dewa di Olimpus yang sifatnya “Ilahiah” karena peran dari Hermes. Kurang lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah karakter dari metode Hermeneutika.

Meski bisa jadi tak banyak yang setuju, Sigmund Freud bisa jadi merupakan salah satu peletak kunci hermeneutik ketika ia menulis buku The Interpretation of Dreams. Model-model interpretasi mimpi lain, bisa jadi juga bersifat hermeneutis ketika menempatkan mimpi sebagai pesan dari suatu kekuatan yang besar, ketika mereka menginterpretasi berdasar kekuatan subyektivitas masing-masing penafsir. Kita bisa melihat ini pada sejarah Yunani dan Ibrani di mana mimpi kerap menjadi kunci dalam kehidupan. Kisah dari nama-nama seperti Yusuf, Daniel, Abraham dan sejumlah nama lagi, membuktikan kekuatan mereka dalam hermeneutika dalam menafsir mimpi. Dalam kisah-kisah itu, Mimpi dianggap pesan dari suatu entitas Ilahi. Di Yunani, tafsir hermeneutis berkembang dalam puisi-puisi. Salah satu yang terkenal adalah karya-karya Homer.

Dalam perkembangannya, sejumlah tokoh memberi sumbangan dalam perkembangan hermeneutik. Di antaranya adalah: Friedrich Schleiermacher yang mengeksplorasi kesejatian dari pemahaman dalam hubungannya tak hanya dengan teks-teks suci, tetapi juga semua teks manusia dan model-model komunikasi. Interpretasi teks harus diproses dengan mem-framing isi dalam term yang bisa mengorganisasinya dalam suatu pemahaman tertentu. Schleiermacher membedakan antara interpretasi grammatikal dan interpretasi psikologis.

Wilhelm Dilthey memperluas hermeneutik dengan menghubungkan interpretasi hermeneutis pada semua objek yang bersifat historis. Memahami pergerakan dari apa yang tampak di permukaan dari tindakan manusia dan bagaimana mengeksplorasi makna di dalam tindakan tersebut. Dilthey menjelaskan bahwa apa yang bergerak dari luar ke dalam, dari “ekspresi” menuju “yang diekspresikan”, bukan berbasis empati. Kenapa? Karena empati melibatkan suatu identifikasi langsung dengan orang lain. Interpretasi melibatkan suatu yang tidak langsung atau dimediasi oleh pemahaman yang hanya bisa terjadi dengan menempatkan ekspresi manusia dalam konteks historikal. Memahami bukan sebuah proses merekonstruksi pemikiran dari si pemaham (author), tetapi lebih suatu artikulasi apa yang diekspresikan dalam yang tengah berjalan.

Semenjak Dilthey, disiplin hermeneutik telah beranjak keluar dari sentral tugasnya semula dan berkembang dengan spektrum yang meliputi semua jenis teks, meliputi multimedia dan memahami dasar pemaknaan. Lalu, muncullah Martin Heidegger yang mendorong lebih jauh batas hermeneutik dari interpretasi menuju pemahaman eksistensial dalam semangat bagaimana melakukan pemahaman terhadap meng-Ada secara otentik dan secara sederhana menempatkannya sebagai suatu cara mengetahui (way of knowing). Pendekatan inilah yang kemudian banyak memberi kontribusi pada fenomenologi, sebuah aliran yang anti-teori dan anti-positivisme.

Setelah Heidegger, muncul nama Hans-Georg Gadamer. Dalam bukunya “Truth and Method”, Gadamer yang merupakan murid Heidegger, mengembangkan sebuah metode hermeneutis yang mengupas kebenaran. Nama lain yang memberi banyak kontribusi bagi pengembangan hermeneutik adalah Paul Ricoeur. Tentang Hermenutika Paul Ricoeur, rekan Bagus Takwin telah membahas secara lebih detil pada esei “Sekilas Hermeneutika Paul Ricoeur” , bisa dilihat di milis Psikologi Transformatif pada link berikut: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/6017 serta tulisan berjudul: Epoche dan Distanciation – dalam Fenomenologi Hermeneutik Paul Ricoeur di link:http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/6018


SEKILAS SEMIOTIK

Ada dua tokoh penting dalam semiotika, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Meski semiotika sendiri sebenarnya sudah ada sejak masa sebelum mereka, tapi keduanya dianggap sebagai peletak dasar konsep semiotika. Selanjutnya sejumlah semiotisian, mengembangkan metode analisis tanda ini berdasar apa yang telah diletakkan oleh Saussure dan Pierce.

Saussure mengemukakan dua konsep dalam semiotika, yaitu penanda dan petanda. Keduanya, mengarakterisasi “tanda”. Jadi, dalam setiap “tanda” ada unsur “penanda” dan “petanda”. Penanda adalah konsep akustik atau suara. Sedangkan petanda adalah konsep mental. Misalnya: konsep mental mengenai mahkluk dengan ciri: berkaki empat, berbulu, setia, banyak dipelihara di rumah, kalau kencing kakinya diangkat satu, dianggap najis oleh agama tertentu; konsep mental itu menyatu dengan konsep akustik “anjing”. Jadi ada sebuah tanda yang menyatukan antara konsep akustik “anjing” dan konsep mental mahkluk tertentu.

Saussure menjelaskan bahwa hubungan antara penanda dan petanda ini bersifat arbitrer, manasuka, atau bahasa jawanya “Sak karepe”. Lho? Iya. Coba saja lihat. Untuk konsep mental yang sama, orang Inggris menyebut “Dog”, orang Jawa “Asu”, itupun masih ada bahasa yang lebih halus yang menyebut “Segawon”. Di daerah tertentu disebut juga “guk-guk”. Filosofi arbiter ini, tak pelak memengaruhi sejumlah pemikiran yang kelak muncul sesudah Saussure, seperti Derrida, Barthes, Baudrillard, dll.

Pierce, sedikit berbeda dengan Saussure. Ia mendefinisikan semiotik sebagai

"...action, or influence, which is, or involves, a cooperation of three subjects, such as a sign, its object, and its interpretant, this tri-relative influence not being in any way resolvable into actions between pairs."

Jadi, jika Saussure menjelaskan dalam tanda ada unsur penanda dan petanda, Pierce justru melihat ada tiga hal penting dalam semiotika yang bisa dijelaskan melalui Tanda, objek, dan interpretan. Tanda, mirip dengan apa yang dijelaskan Saussure dengan penanda. Jadi kata “anjing” adalah tanda. Objek adalah anjingnya itu sendiri, yang hidup dan berlari dan bisa menggigit dsb. Sedangkan interpretan mirip dengan konsep mental yang dijelaskan oleh Saussure.

Dalam penjelasan mengenai hermenutik, saya menghadirkan contoh mimpi yang ditafsir secara hermeneutis. Pada penjelasan mengenai semiotik ini, saya juga akan menghadirkan contoh mengenai mimpi. Bagaimana mimpi ditafsirsecara semiotis? Jika secara hermeneutis, saya menghadirkan Freud, maka secara semiotis saya menghadirkan Carl G. Jung. Ini bisa jadi juga banyak yang tak setuju, mengingat dalam perkembangan semiotis, justru Freud yang lebih berperan, terutama pada tokoh-tokoh seperti Jacques Lacan, Julia Kristeva, Luce Irigaray, Jacques Derrida, dll. Tapi saya punya argumen. Jung lebih semiotis pada teorinya, ketimbang Freud, karena Jung mempertimbangkan sinkronisitas.

Mimpi dalam kajian Jung, dilihat maknanya berdasarkan sinkronisitasnya dengan arketipe. Setiap mimpi, memuat arche atau bentuk anterior yang mendahului “Ada”. Arche ini adalah sesuatu yang tak terjelaskan, namun ia hadir membawa pesan yang bisa dikoding “hanya” oleh si penerima pesan “dengan memperhatikan pula” keterkaitan pesan itu dengan pesan lain yang muncul. Misalnya, Jung pernah menemukan seorang perempuan di Barat yang bermimpi persis dengan salah satu cerita mitologi di Cina, padahal si perempuan sama sekali belum pernah mengetahui cerita tersebut. Inilah archetype. Arche yang muncul dalam tipe atau bentuk khusus. Makna atau pesan yang ada dalam mimpi anak perempuan itu, memiliki keterkaitan dengan mite di Cina.

Nah, sinkronisitas inilah yang sejalan dengan “hukum” sinkronik dan diakronik dari semiotik. Sebuah tafsir semiotik, selalu disejajarkan dengan kehadiran sesuatu yang lain dalam sebuah sistem. Saya akan gambarkan sebagai berikut: Saat kita makan malam, pada saat bersamaan hadir piring, garpu, sendok, meja makan, mungkin pisau, mungkin lilin, dan berbagai pernik lain. Satu sama lain ini berhubungan jadi ketika kita menafsir sendok dalam konteks makan malam, ia bukan sesuatu yang terlepas dari pernik lain. Inilah sinkronik. Begitu pula ketika “proses” makan malam itu telah terjadi, masing-masing pernik ini “berjalan”. Lilin terbakar habis. Piring terisi, lalu kosong. Garpu, sendok, pisau menjalankan fungsinya. Nah, dalam “proses” ini, yang satu berhubungan dengan yang lain, inilah diakronik.

Saya akan paparkan sebuah contoh menarik dari liputan Jakarta Pos tentang seminar yang dilakukan Vincent Liong berikut (lihat http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/6710) :

"Ask a question, slice the fruit, see the surface and feel it. The fruit can tell what you want to know," he said.

"Ask a question," Vincent told a student.

"Tell me about my sister's relationship with his boyfriend," said one participant.

Vincent cut a cucumber and scrutinized the surface.

"The boyfriend is ignoring her. But she's putting up with it. She's very patient," Vincent said with confidence. "Eventually, she will be tired of the situation. You don't have to tell her to leave him, she'll do it."

Perhatikan taktik pemindahan antara penanda dan petanda (jika kita memakai konsep Saussurean), antara tanda, objek, dan interpretan (jika kita memakai konsep Piercean), serta sinkronisitas dan diakronisitas di dalamnya. Ini adalah permainan semiotis. Buah adalah simbol atau penanda atau tanda. Kita bisa meletakkan secara arbitrer dengan “konsep mental” mengenai relasi seorang perempuan dan kekasihnya.

Sama seperti orang Jawa melekatkan secara arbitrer “segawon” dengan konsep mental mahkluk tertentu, yang orang Inggris justru melekatkan “dog”, di situ kita lihat walau arbitrer, tapi bukan berarti sepenuhnya tidak berhubungan. Ada sesuatu yang dalam semiotika disebut dengan strukturalisme. Nah, inilah yang dipraktekkan Vincent. Dia melekatkan pula secara arbiter antara “Timun” dan “relasi A dan B”. Apakah sepenuhnya tidak berhubungan? Pada kenyataannya terdapat suatu seperti strukturalisme yang terjadi pada “segawon”, “dog”, “anjing”, “asu” dsb. itu.

Inilah sebuah permainan yang saya istilahkan dualitas dua hal berlawanan. Derrida menjelaskan ini melalui differance dan dekonstruksi. Tao menjelaskan dalam konsep: Kosong adalah berisi, berisi adalah kosong. Apa artinya semua itu? Bahwa dalam kekaburan, terdapat kejelasan. Dalam kekosongan terdapat pula keberisian. Dalam ketaktahuan terdapat pula pengetahuan. Dan seterusnya. Jadi tak ada mata uang yang terdiri dari satu sisi. Kenapa kita tak mampu memahami itu semua? Karena cara berpikir kita terjebak dalam bahasa. Dalam bahasa, berisi tak mungkin kosong, begitu pula sebaliknya. Permainan kecil Vincent itu sebenarnya adalah sebuah permainan yang mengajak untuk melampaui bahasa. Kenapa? Tujuannya adalah melampaui “keterbatasan pikiran” yang terbiasakan oleh bahasa.

PERBEDAAN HERMENUTIKA DAN SEMIOTIKA

Metode Hermeneutik, awalnya merupakan metode interpretasi terhadap teks-teks suci yang kebanyakan ada pada kitab suci. Semiotika lebih banyak digunakan dalam studi kultural. Sekilas, dari sisi kegunaannya untuk analisis teks, Hermeneutika terlihat mirip dengan semiotika. Namun, ada karakteristik khusus dari hermeneutik yang membedakannya dari semiotika, yaitu kekuatan subyektivitas penafsirnya. Semiotika, berbeda dari hermeneutik, memiliki penekanan pada sisi diakronik dan sinkronik dari teks.

Hermeneutik, menurut hemat saya, akurasinya mengandalkan pada ketajaman kemampuannya, serta bagaimana ia bisa secara tulus, genuine menginterpretasi sesuatu. Tafsir-tafsir hermeneutis, bisa kita lihat kualitasnya dalam masyarakat kita, seperti bagaimana pengakuan seorang bom bunuh diri tentang apa yang ditafsirkannya tentang kematian. Di milis psikologi transformatif, kita bisa melihat banyak sekali tafsir-tafsir hermeneutis, terutama berkaitan dengan agama. Terutama di sini tentang Tao dan pada sejumlah tulisan dari web Islam yang dengan rutin selalu diforward ke milis psikologi transformatif.

Khotbah-khotbah agama, ramalan (dalam sejumlah tipikal tertentu), interpretasi psikologi (dalam kasus tertentu pula) seringkali juga dilakukan secara hermeneutis. Beberapa bahkan tanpa dilandasi adanya kemampuan untuk menghasilkan akurasi Dalam kasus ramalan yang dilakukan secara hermeneutis dengan daya akurasi kurang, bisa anda baca  pada esei Leo berjudul “pengakuan seorang peramal”. Apakah tidak ada orang yang bisa menebak langsung dan benar? Kenyataannya ada. Tapi hanya sedikit yang memiliki kepekaan hermeneutis tinggi seperti itu. Lebih banyak yang tidak memiliki tapi berlagak memiliki. Sama juga dengan psikolog yang ketika pertama melihat orang lalu berlagak tahu dengan menebak ini-itu.

Semiotika, mengandalkan pada kekuatan menghubungkan sesuatu dengan yang lain. Tarot misalnya, bekerja dalam azas semiotis karena mengandalkan pada sinkronisitas. Baik sinkronisitas antara simbol-simbol dalam kartu dan simbol-simbol arkais, juga sinkronsitas antara pewacana dan klien. Inilah sebenarnya yang seringkali dijelaskan oleh Vincent dan Leo sebagai kerangka ilmiah dalam “meramal”. Memang apa yang dilakukan bisa ditempatkan dalam konteks ilmiah, karena sisi sinkronik dan diakronik dalam semiotika, memiliki sejumlah kemiripan dengan hukum validitas dan reliabilitas dalam ilmu pengetahuan.

Semiotika pun membutuhkan penguasaan dengan level tertentu untuk menghasilkan akurasi. Seseorang yang hanya memelajari sesuatu secara parsial, akan sulit menjalankan metode ini. Semiotika mensyaratkan suatu rentang pembelajaran yang luas. Itulah sebabnya di psikologi metode semiotika ini masih asing, karena mereka cenderung meng-ekslusi hal-hal lain seperti filsafat, sosiologi sebagai sesuatu yang tak perlu secara mendalam dipelajari. Semiotika mensyaratkan untuk memelajari akar pemahaman dari tanda dan simbol itu sendiri, serta mempraktekkannya dalam kehidupan, maka tak ada cara lain selain memelajari manusia, juga harus berusaha memahami filosofi serta budaya dalam masyarakat, yang celakanya ada pada ilmu di luar psikologi.


© Audifax – 5 Mei 2006


NB: Saya mem-posting esei ini ke milis Psikologi Transformatif, Vincent Liong, R-ManiaMungkin akan ada rekan-rekan dari milis-milis tersebut yang akan mem-forward esei ini ke sejumlah milis lain. Karena keterbatasan waktu, saya hanya akan menanggapi diskusi di milis Psikologi Transformatif. Melalui esei ini pula saya mengundang siapapun yang tertarik untuk berdiskusi dengan saya untuk bergabung di milis psikologi transformatif (www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif)



CATATAN-CATATAN:

[1] Anonim; Semiotic; retrieved 5 Mei 2006; Online documents: http://en.wikipedia.org/wiki/Semiotic
[2] Anonim; Hermeneutic; retrieved 5 Mei 2006; Online documenst: http://en.wikipedia.org/wiki/Hermeneutics

Love cheap thrills? Enjoy PC-to-Phone calls to 30+ countries for just 2¢/min with Yahoo! Messenger with Voice. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar