Kamis, 15 Maret 2012

kaidah-kaidah fiqh


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah
Islam merupakan agama yang dikenal dengan agama yang toleran serta tidak menyulitkan bagi umat yang memeluknya, al-Quran dan Hadist telah dijadikan peraturan bagi setiap muslim diseluruh pelosok dunia.
Namun, tidak sebatas itu, al-qur’an dan Hadist telah memeberikan petunjuk bahwa setiap perkara yang tidak tercantum didalam wahyu yang diturunkan oleh Allah disarankan agar melakukan ijtihat dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Dengan dimikian banyak Ulama’ yang senantiasa melakukan hal-hal semacam itu dengan tujuan agar kaum muslimin senantiasa berada dijalan yang benar.
Namun Dewasa ini, ternyata jika kita sedikit menerawang kepelosok-pelosok desa bahkan banyak orang muslim tidak memahami apa yang dilakukannya sendiri, tidak menutup kemungkinan bahwa hanya sebatas melakukan dan dapat dikatakan hanya sebatas ikut-ikutan saja dalam artian tidak mengetahui hokum sebenarnya. Untuk itu penulis akan membahas tentang kaidah-kaidah fikih yang dewasa ini telah banyak digunakan oleh banyak kaum muslimin.

B.     Manfaat penulisan
1.      Penulis
Sebagai tambahan wawasan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang selama ini masih belum sempurna, serta ingin mengembangkan potensi akademik khususnya bagi penulis sendiri
2.      Lembaga Institut Agama Islam
Sebagai sumbangan analisis ilmiah terhadap seluruh umat Islam yang hususnya institusi lembaga pendidikan Agama Islam Nurul Jadid Paiton Probolinggo sebagai hazanah keilmuan.

C.     Sistematika penulisan
Untuk mendapatkan gambaran singkat yang jelas dan menyeluruh tentang isi makalah tentang kaidah-kaidah fikih, secara singkat dan jelas dapat dilihat dalam sistematika pembahasan di bawah ini, dimana dalam makalah ini dapat dibagi menjadi empat bab, antara lain:
BAB I         : Pendahuluan.
Bab ini merupakan bagian dari pendahuluan dari isi makalah ini yang terdiri dari latar belakang masalah, manfaat penulisan, dan sistematika pembahasan.
BAB II       : Pembahasan
Dalam bab ini berisi tentang kajian teori yaitu pembahasan tentang kaidah fikih yang menjelaskan tentang teks beserta penjelasan dari teks tersebut yang disempurnakan dengan aplikasi teks tersebut yang dilengkapi dengan contohnya. Yang kemudian penulis lengkapi dengan analisa dari teks tersebut.
BAB III      : Analisis
Dalam bab ini, merupakan hasil analisis pribadi penulis yang terkandung didalam teks kaidah-kaidah fikih tersebut agar menjadi pedoman yang dapat digunakan sesuai dengan pemakainya.
BAB  IV     : Kesimpulan dan Saran
Bab ini merupakan akhir dari pembahasan yang berisi tentang kesimpulan terhadap pembahasan data-data yang telah dianalisis dan saran-saran sebagai bahan pertimbangan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    QAidah fiqiyah
1.      Teks

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب


Jika sebuah kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya”[1]

2.      Penjelasan
Dari teks (kaidah fikih) diatas dapat difahami bahwa dalam melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan apapun baik itu horizontal dan vertical yang jika hukumnya wajib, dan disertai dengan syarat-syarat atau hal-hal yang berkaitan untuk menyempurnakan suatu tujuan tersebut yang hukumnya wajib maka syarat-syarat itu menjadi wajib pula hukumnya.
Kendatipun demikian, jika yang terjadi adalah sesuatu pekerjaan yang pada asal mula hukumnya sunnah ataupun mubah akan tetapi jika sesuatu pekerjaan tersebut merupakan penyempurna atau syarat untuk memenuhi pekerjaan yang bernuansa wajib, maka tidak dipunkiri sesuatu pekerjaan yang asal mula hukumnya mubah atau sunnah bisa menjadi wajib hukumnya.
Adapun dari diskripsi diatas, sesuatu kewajiban dapat dikatakan sempurna jika kewajiban-kewajiban tersebut sudah memenuhi syarat-syarat tertentu demi tujuan yang ingin dicapai.
Sejauh ini, ada kaidah-kaidah fikih yang berhubungan dengan teks diatas, yaitu;



للو سائل حكم المقاصد
Artinya;
“Hukum sarana/wasilah adalah sama dengan hukum tujuan”[2]
Hubungan antara kedua teks kaidah-kaidah fikih diatas sungguh sangat tersambung, karena sama-sama mempunyai artian dalam melaksanakan sesuatu hal yang wajib namun harus memmpunyai syarat yang harus dipenuhi maka syarat tersebut wajib pula hukumnya untuk memenuhi tujuan tersebut.

B.     Aplikasi kaidah Dalam contoh
1.      Rukyatul Hilal
Hukum melakukan rukyatul hilal untuk menentukan awal bulan qamariyah adakalanya wajib dan adakalanya sunnah (mandub). Hukumnya wajib secara fardhu kifayah jika terkait dengan ibadah-ibadah yang hukumnya wajib, seperti puasa Ramadhan dan ibadah haji.
Maka wajib hukumnya melakukan rukyatul hilal pada malam ke-30 bulan Sya’ban untuk menentukan awal bulan Ramadhan guna melaksanakan puasa Ramadhan. Wajib pula rukyatul hilal pada malam ke-30 bulan Ramadhan untuk mengakhiri puasa Ramadhan serta menentukan awal bulan Syawwal guna merayakan Iedul Fitri, serta malam ke-30 bulan Zulqa’dah untuk menentukan awal bulan Zulhijjah guna melaksanakan ibadah haji, seperti wukuf di Arafah tanggal 9 Zulhijjah, juga untuk menentukan hari raya Iedul Adha tanggal 10 Zulhijjah. (Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz XXII hlm. 13; Bakar bin Abdullah Abu Zaid, Hukm Itsbat Awa`il As Syahr Al Qamari wa Tauhid Ar Ru`yah, hlm. 7).
Dalil wajibnya melakukan rukyatul hilal ini adalah kaidah fiqih :

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
" Jika sebuah kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya
Adapun jika terkait dengan ibadah-ibadah yang hukumnya sunnah, seperti puasa Tasu`a tanggal 9 Muharram, atau puasa ’Asyura tanggal 10 Muharram, atau puasa sunnah tanggal 13, 14, dan 15 pada setiap bulan qamariyah, maka rukyatul hilal hukumnya sunnah. Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid dalam kitabnya Hukm Itsbat Awa`il As Syahr Al Qamari wa Tauhid Ar Ru`yah berkata,”Jika ibadah hukumnya sunnah, maka melakukan rukyatul hilal hukumnya juga sunnah, sebab hukum untuk sarana itu mengikuti hukum tujuan (al wasa`il lahaa ahkam al ghayat). Maka jika dilakukan rukyatul hilal, itu baik. Jika tidak, maka patokan ibadah sunnah ialah istikmal (menggenapkan) bulan sebelumnya.” (Bakar bin Abdullah Abu Zaid, Hukm Itsbat Awa`il As Syahr Al Qamari wa Tauhid Ar Ru`yah, hlm. 7).
Dalil sunnahnya melakukan melakukan rukyatul hilal tersebut adalah kaidah fiqih :

الوسائل تتبع المقاصد في أحكامها

“Segala jalan/perantaraan itu hukumnya mengikuti hukum tujuan”
Kaidah ini menerangkan bahwa hukum untuk wasilah (jalan/perantaraan) itu sama dengan hukum untuk tujuan. Berdasarkan kaidah ini, rukyatul hilal untuk ibadah sunnah itu hukumnya sunnah. Sebab rukyatul hilal dianggap sebagai wasilah yang akan mengantarkan pada ibadah-ibadah sunnah.
Berdasarkan penjelasan ini, maka melakukan rukyatul hilal hukumnya fardhu kifayah untuk menentukan masuknya bulan Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah. Adapun rukyatul hilal untuk bulan-bulan yang lain, seperti bulan Muharram, Rajab, dan sebagainya hukumnya sunnah, tidak wajib.
Sebagian ulama mewajibkan rukyatul hilal untuk menentukan masuknya bulan-bulan haram (al asyhur al hurum), karena terkait dengan larangan berperang bagi kaum muslimin untuk berperang pada bulan-bulan haram (QS Al Baqarah [2] : 217), yakni bulan Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Namun menurut kami, rukyatul hilal ini hukumnya tidak wajib, sebab menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani larangan berperang pada bulan-bulan haram itu telah dinasakh (dihapus) oleh ayat-ayat perang sehingga larangan tersebut tidak berlaku lagi bagi kaum muslimin saat ini.

2.      Wudhu’ vs Shalat
Hokum asal dari whudu’ merupakan sunnah, dan diketahui bahwa hokum melaksanakan shalat adalah wajib, sebagaimana hadist nabi sebagai berikut;

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي اُصَلِّى

Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat”.(Riwayat Al-Baihaqi,Ad-Daruquthny, dan Ibnu Majah)

Dari hadist diatas, dapat disimpulkan bahwa hokum melaksanakan shalat adalah wajib, karena hadist diatas mempunyai arti seruan, ajakan, atau perintah untuk melakukan shalat yang dalam hal tersebut Nabi berperan sebagai model, atau contoh yang memperagakan shalat.
Sedang dalam hadist dan keterangan-keterangan dalam dalam hokum Islam untuk melaksanakan shalat baik yang bersifat wajib ataupun sunnah ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu suci dari hadas kecil dan hadast besar[3], dengan demikian, berwudhu’ akan berubah status hukumnya yang pada awalnya adalah sunnah tetapi menjadi wajib dengan alasan dalam melakukan shalat harus mempunyai wudhu yang disetarakan dari kaidah fikih tersebut diatas.
Berikut adalah keterangan-keterangan yang memerintahkan dalam melaksanakan shalat harus mempunyai wudhu’, yang bernunyi;

هادا وضؤ لايقبل الله الصلاة ال الا به
Artinya:
“… Beginilah wudhu’, Allah tidak menerima wudhu’ seseorang kecuali dengan wudhu’ seperti ini”[4]
Dalam teks lain yang dapat memperkuat penjelasan tersebut diatas terdapat didalam ayat-ayat suci al-Qur’an yang dalam hal ini tercantum dalam surat al-Maidah ayat 6, Allah berfirman didalam al-Qur’an yang berbunyi;

ياايهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوابِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya;
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (Al-Maidah ayat 6)

Jadi, dengan demikian dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum melakukan wudhu’ menjadi wajib disebabkan untuk memenuhi suatu tujuan yaitu melaksanakan shalat, karena syarat untuk melakukan shalat harus mempunyai whudhu (suci dari hadast) jadi shalat tidak akan terlaksana tanpa mempunyai wudhu’[5].

3.      Wudhu’ vs Al-qur’an
Al-Quran merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, yang sampai pada saat ini al-Qur’an menjadi sumber hokum yang pertama bagi agama Islam yang tersebar diseluruh pelosok dunia.
Mengenai hokum memegang al-qur’an ada perbedaan dalam menentukan hokum tersebut, namun dalam konteks ini yang dihubungkan dengan permaslahan kaidah-kaidah fikih maka mewajibkannya mempunyai wudhu.
Menurut M. Abduh,  al-Quran merupakan kalam mulia yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi yang paling sempurna dan al-Qur’an merupakan kalam yang mulia yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang-orang yang berjiwa suci.[6]
Dari beberapa keterangan bahwa Imam Malik, Hanafi dan Syafi’i memberikan pendapat bahwa suci dari hadas kecil dan hadas besar adalah syarat di perbolehkannya memegang Mushaf Al qur’an.
Pendapat ini yang didasarkan pada ayat suci al-qur’an, Allah SWT berfirman:

لاَّ يَمَسَّةُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
Artinya:
“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.”
(QS. Al Waqi’ah: 79)

Para ulama di atas menafsirkan المُطَهَّرُونَ sebagai orang-orang yang bersuci. Baik dengan berwudhu ataupun mandi jinabah[7].
Sedangkan diperbolehkan menyentuh mushaf seluruhnya atau sebagiannya yang pendapat ini diluncurkan oleh imam Maliki namun harus dengan syarat sebagai berikut:
a.       Dalam keadaan darurat.
b.      Tertulis dengan tidak menggunakan bahasa arab, adapun jika tertulis dengan menggunakan bahasa arab maka tidak boleh menyentuhnya dengan keadaan apapun, walaupun tertulis dengan khat Kufiy atau Maghribiy atau selainnya.
c.       Menjadi ukiran dalam mata wang, sama ada dalam dinar, dirham atau selainnya (yang menjadi alat untuk pertukaran)
d.      Diperbolehkan memegang qur’an seluruhnya atau sebagiannya untuk menyelamatkan (terjatuh dilantai atau dimana saja) tanpa memiliki wudhu. Sebagian dari para Malikiah mengatakan diperbolehkan memegangnya apabila qur’an itu hanya sebagian saja dan jika sempurna qur’an tersebut maka dilarang. Dan syarat memegangnya ada dua: Pertama, hendaknya orang yang memegang qur’an adalah muslim. Kedua, hendaknya qur’an tersebut tertutup (terbungkus) agar tidak ternodai dari segala macam kotoran.
e.       Yang menyentuhnya atau yang memegangnya adalah seorang guru atau murid, dan tidak ada perbezaan apakah mereka itu sudah mukallaf atau belum, begitu juga wanita yang haidh dan yang selain itu.[8]
Maka, bagi Maliki, selain dari empat syarat tadi, orang yang tidak memiliki wudhu tidak diperbolehkan untuk menyentuh atau memegang qur’an, sama ada menggunakan alas ataupun tidak. Begitu juga tidak diperbolehkan memegang sesuatu yang diatasnya ada qur’an (bantal, kursi, kotak, dll). Dan apabila qur’an tersebut dicampurkan dengan barang-barang lain dan dimasukkan dalam satu tempat (kardus) maka diperbolehkan untuk memegang tempat tersebut
Dengan demikian, penjelasan tersebut diatas sudah jelas sekali  sangat erat sekali hubungannya dengan kaidah-kaidah fikih, yang pada dasarnya hokum dari berwudhu’ adalah sunnah telah berubah keadaan menjadi wajib dikarenakan tujuan utamanya adalah memegang mushaf al-Qur’an yang diketahui syarat-syarat diperbolehkannya memegang al-qur’an harus mempunyai wudhu (suci dari hadast kecil dan hadast besar).

4.      Sedekah kepada fakir miskin
Entah apa yang terjadi di negara ini sehingga pengamen dan pengemis begitu banyak. Hampir disetiap ruas jalan yang ada di Ibu Kota Indonesia berderatan pengemis yang mencoba mengugah hati para pejalan yang sedang melintas berharap memberikan sedikit uang yang ada di kantong pejalan.
Ironisnya, para pengemis tidak hanya melakukan aktivitasnya di jalanan, mereka juga sesekali atau setiap minggu sekali memadati Masjid saat ada acara  ibadah sholat jum’at. Kedatangannya bukan turut serta melakukan ibadah sholat jum’at melainkan sedang menunggu jamaah keluar dari pintu masjid dan berharap akan kemurahan hati untuk berbagi rizeki.
Memberi uang kepada pengemis dapat dianggap bersedekah. Maka hukumnya sunnah, karena bersedekah hukum asalnya sunnah. Wahbah az-Zuhaili berkata,“Sedekah tathawwu’ (sedekah sunnah/bukan zakat) dianjurkan (mustahab) dalam segala waktu, dan hukumnya sunnah berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah.” (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuhu, 3/389).
Dalil Al-Qur`an antara lain (artinya),
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (QS Al-Baqarah [2] : 245).
Pada sisi lain, Dalil As-Sunnah misalnya sabda Nabi SAW,”Barangsiapa memberi makan orang lapar, Allah akan memberinya makanan dari buah-buahan surga. Barangsiapa memberi minuman kepada orang haus, Allah pada Hari Kiamat nanti akan memberinya minuman surga yang amat lezat (ar-rahiq al-makhtum), dan barangsiapa memberi pakaian orang yang telanjang, Allah akan memberinya pakaian surga yang berwarna hijau (khudhr al-jannah).” (HR Abu Dawud no 1432; Tirmidzi no 2373).
Namun hukum asal sunnah ini bisa berubah bergantung pada kondisinya. Sedekah dapat menjadi wajib. Misalnya ada pengemis dalam kondisi yang dibolehkan, yakni sudah kelaparan dan tak punya makanan sedikit pun, sedang pemberi sedekah mempunyai kelebihan makanan setelah tercukupi kebutuhannya. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuhu, 3/390). Dalam kondisi seperti ini, sedekah wajib hukumnya. Sebab jika tak ada cara lain menolongnya kecuali bersedekah, maka sedekah menjadi wajib, sesuai kaidah fiqih : “.” (Jika suatu kewajiban tak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya).

5.      Belajar Bhs. Inggris
Itulah nasehat seorang ayah kepada anaknya agar anaknya kelak menjadi orang yang “sukses”. Tentunya kesusksesan yang dimaksud sang ayah adalah kesuksesan di dunia yang sangatlah sebentar jika dibandingkan keabadian akhirat, sedangkan kita sebagai seorang muslim yang percaya akan akhirat maka kesuksesan adalah apa yang dituntun oleh Al-Qur’an:

فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَاز

Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung/sukses” (Ali Imran:185)
 Syaikh Muhammad bin nashir As-Sa’di rahimahullahu  berkata menjelaskan ayat ini,

ومفهوم الآية، أن من لم يزحزح عن النار ويدخل الجنة، فإنه لم يفز،

بل قد شقي الشقاء الأبدي، وابتلي بالعذاب السرمدي

 “Mafhum ayat (mukhalafah/kebalikannya, pent), barangsiapa yang tidak dijauhkan dari neraka dan tidak dimasukkan kesurga maka ia tidak beruntung/sukses, bahkan termasuk orang yang paling celaka selama-lamanya dan disiksa dengan azab yang kekal.” (Taisir karimir rahmaan hal 142, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. I, 1424 H)
Salah satu nasehat sang ayah diatas adalah agar anaknya menguasai bahasa Inggris, inilah fenomena kaum muslimin saat ini, mereka menaruh perhatian yang sangat besar dengan bahasa Inggris. Sejak kecil anak diajarkan dan dibiasakan bahasa Inggris, Kursus-kursus bahasa Inggris menjamur diberbagai tempat dengan biaya yang cukup tinggi, para pemuda berlomba-lomba berbahasa Inggris sebagai simbol anak gaul dan bahasa yang keren. Level pendidikan kurang bonafit levelnya jika tidak memakai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.
Hal ini bukanlah tercela karena Bahasa Inggris merupakan hal yang mubah dan merupakan wasilah sebagaimana ketika Syaikh Al-Utsaimin rahimahullahu  ditanya.

وسئل فضيلة الشيخ : عن حكم تعلم اللغة الإنجليزية في الوقت الحاضر؟

Apa hukum mempelajari bahasa Inggris sekarang ini?”.

فأجاب فضيلته: بقوله: تعلمها وسيلة، فإذا كنت محتاجاً إليها كوسيلة في الدعوة

إلى الله فقد يكون تعلمها واجباً ، وإن لم تكن محتاجاً إليها فلا تشغل

وقتك بها واشتغل بما هو أهم وأنفع، والناس يختلفون في حاجتهم إلى تعلم اللغة الإنجليزية

 Beliau Menjawab: “ Mempelajarinya Adalah Wasilah, Jika Engkau Membutuhkannya Sebagai Wasilah Berdakwah Kepada Allah  Maka Hukumnya Wajib, Jika Engkau Tidak Membutuhkannya Maka Janganlah Engkau Menyibukkan Waktumu Dengannya, Sibukkanlah Dirimu Dengan Yang Lebih Penting Dan Bermanfaat, Dan Manusia Berbeda-Beda Kebutuhannya Terhadap Bahasa Inggris (Kitabul ilmi hal 93, Darul itqon Al Iskandariyah).

Bahkan syaikh Al-Utsaimin rahimahullahu  berandai-andai bisa berbahasa Inggris,
“Aku sendiri berangan-angan, andai saja aku bisa menguasai bahasa Inggris.  Sungguh, aku melihat terdapat manfaat yang amat besar bagi dakwah jika saja bahasa Inggris bisa kukuasai. Karena jika kita tidak menguasai bahasa tersebut, bagaimana kita bisa berdakwah jika ada yang masuk Islam di hadapan kita.” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh kaset no. 61, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dinukil dari rumaisyo.com)
Jadi, dalam kondisi seprti itu terjadi perubahan hokum yang pada asalnya tidak wajib maka menjadi wajib disebabkan bahasa inggris merupakan salah satu wasilah atau perantara untuk tercapainya berdakwah.

6.      Infaq vs penjahat
Infaq adalah mengeluarkan harta yang mencakup zakat dan non zakat. Infaq ada yang wajib dan ada yang sunnah. Infaq wajib di antaranya zakat, kafarat, nadzar, dll. Infak sunnah di antara nya, infak kepada fakir miskin sesama muslim, infak bencana alam, infak kemanusiaan[9].
Hukum memberi Infaq kepada pemberontak (gerombolan) sekarang adalah Haram pula karena berontak itu menurut keterangan di atas tadi adalah Haram. Maka memberi Infaq itu Haram karena qaedah Ushul Fiqh : أن للوسائل حكم المقاصد  artinya : Wasilah kepada sesuatu yang dimaksud, hukum sesuatu yang dimaksud itu.
Adapun yang dimaksud dengan Infaq sekarang adalah untuk berintak, sedangkan berontak itu adalah Haram. Jadi yang menjadi wasilah Haram hukumnya Haram pula. Tersebut dalam Hadits Shahih : من أعان على معصية  ولو بشطر  كلمة كان شريكا لها   artinya : Siapa yang menolong atas Maksiat walaupun denga setengah patah kata kalimat atau dengan sesuku uang, maka orang yang menolong itu maksiat juga. AL-HASIL : Bagi kita Rakyat tidak ada perintah : واحكم بما أنزل الله   Hanya  Perintah Tuhan itu diberatkan atas Pemerintah dan bagi Ulama wajib menasehati mereka (Pemerintah) bukan dengan jalan memberontak.      لعلهم يتذكرون
Kalau pemberontak (gerombolan) sekarang tidak akan berontak lagi, hanya nama saja D.I. (Darul Islam) atau Daulah Islamiyah atau nama apa saja menurut kesukaan dan tempat mereka, maka hukum Infaq itu sama saja dengan hukum uang iuran partai, asal saja memintanya tidak dengan dipertakut-takut. Jadi hukumnya Infaq yang demikian macam adalah hukum sedeqah biasa saja, jika yang memberipun dengan segala senang hati pula.

7.      Dakwah
.    Dakwah adalah Wajib ‘Ain Bagi setiap Muslim (Tanpa memandang Pria atau Wanita)
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ [النحل/125]
Amar Ma’ruf - Nahi Munkar adalah hasba al-istitha’ah (semampunya) dari sisi individu, dan Fardhu Kifayah dari sisi keseluruhan kaum muslimin
 عن أبي سعيد سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان . (صحيح مسلم - ج 1 / ص 167)
 عن حذيفة بن اليمان عن النبي صلى الله عليه وسلم قال والذي نفسي بيده لتأمرن بالمعروف ولتنهون عن المنكر أو ليوشكن الله أن يبعث عليكم عقابا منه ثم تدعونه فلا يستجاب لكم . (رواه الترمذي)
 عن النعمان بن بشير رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال مثل القائم على حدود الله والواقع فيها كمثل قوم استهموا على سفينة فأصاب بعضهم أعلاها وبعضهم أسفلها فكان الذين في أسفلها إذا استقوا من الماء مروا على من فوقهم فقالوا لو أنا خرقنا في نصيبنا خرقا ولم نؤذ من فوقنا فإن يتركوهم وما أرادوا هلكوا جميعا وإن أخذوا على أيديهم نجوا ونجوا جميعا . (صحيح البخاري - ج 8 / ص 399)
 وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [الأنفال/25]
Hukum Mendirikan Jama’ah yang melakukan aktivitas Dakwah dan Amar Ma’ruf - Nahi Munkar adalah Fardhu Kifayah
    وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ [آل عمران/104]

Hukum asal Bergabung dengan Jama’ah yang melakukan aktivitas Dakwah dan Amar Ma’ruf - Nahi Munkar adalah Mubah, atau Mandub dari sisi bahwa amal secara berjama’ah adalah amal yang dicintai Allah swt. Baik bagi pria maupun wanita.
    وعن عرفجة قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : يد الله مع الجماعة والشيطان مع من خالفهم يركض . رواه الطبراني ورجاله ثقات . (مجمع الزوائد - ج 5 / ص 400)
Hukum Bergabung dengan Jama’ah diatas bisa menjadi Wajib demi Kesempurnaan Kewajiban Menerapkan Syari’ah Secara Menyeluruh sampai batas yang mencukupi dalam merubah system Demokrasi menjadi system Islam. Berdasarkan kaidah yang mujma’ ‘alaiha:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Yang disarikan dari ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ [المائدة/6]
Dengan tahqiq sebagai berikut:
Sistem demokrasi yang tidak ada di masa nabi saw. sehingga beliau dahulu melakukan tholabun-nushrah dahulu kepada penguasa yatsrib baru rekrutmen oleh Mus'ab bin 'Umair, bukan rekrutmen baru thalabun-nushrah. karena kekuatan demokrasi berada di tangan rakyat bukan di kepala kabilah sebagaimana di masa nabi saw.

عن عبد الله بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته ... والمرأة راعية في بيت زوجها ومسئولة عن رعيتها ... (صحيح البخاري - ج 3 / ص 414)

Namun tidak menggugurkan kewajiban-kewajibannya yang lain, seperti kewajiban shalat dan zakat yang terikat oleh waktu, ataupun kewajiban dakwah dan menuntut ilmu yang tidak terikat oleh waktu. Sebagaimana pula kewajiban laki-laki atas keluarganya:
عن عبد الله بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته الإمام راع ومسئول عن رعيته والرجل راع في أهله وهو مسئول عن رعيته ... (صحيح البخاري - ج 3 / ص 414)
Juga tidak menggugurkan kewajiban-kewajibannya yang lain, seperti kewajiban shalat dan zakat yang terikat oleh waktu, ataupun kewajiban dakwah dan menuntut ilmu yang tidak terikat oleh waktu.
Penjelasan kaidah:
الأصل في الدليل للإعمال
hukum asal dalil syara' adalah al-i'mal (untuk diamalkan)
إعمال الدليلين أولى من إهمال أحدهما أو إهمالهما معا
mengamalkan dua dalil yang memungkinkan dikompromikan lebih utama dari menelantarkan salah satunya atau menelantarkan keduanya secara bersamaan.
maka seluruh tuntunan syara' selama memungkinkan untuk tidak berbenturan menuntut untuk diamalkan.
Hanya saja, perlu penjelasan lebih lanjut di titik ini terkait awlawiyyat (prioritas) yang diambil dan bagaimana apabila terjadi ta’arudh (benturan) antara kewajiban-kewajiban tersebut. Kewajiban wanita sebagai Ibu dan Pengatur Rumah adalah utama, berdasarkan hadits Ibnu Umar diatas dan hadits Abu Hurairah berikut.

عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لو كنت آمرا أحدا أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها (سنن الترمذى - ج 4 / ص 386)

Sehingga lebih diutamakan dari kewajiban berdakwah dalam jama’ah. Terkait hak-hak suami juga tidak boleh dilanggar, misal perizinan keluar rumah dll. Ketaatan kepada suami harus berada diatas ketaatan kepada Amir Jama’ah.
Artinya, wanita tidak berdakwah secara berjama’ah terlebih dahulu sebelum tugas-tugasnya sebagai Ibu dan Pengatur Rumah selesai, jika terjadi benturan yang tak terhindarkan maka memilih tugas sebagai Ibu dan Pengatur Rumah daripada sebagai Pengemban Dakwah dalam jama’ah.
Harus berlandaskan Ideologi yang shahih, yaitu Islam. Sehingga terpancar darinya hukum-hukum atau aturan-aturan administratif yang mampu mengakomodasi para anggotanya dalam segala kondisinya sebagai mukallaf.
Khususnya untuk wanita, maka secara administratif jama’ah yang shahih akan meletakkan ketaatan kepada suami melebihi ketaatan kepada pimpinan jama’ah itu sendiri, sehingga ketika wanita memilih ketaatan kepada suaminya daripada kepada pimpinan jama’ah tatkala terjadi benturan, tidak menjadikan pelanggaran sekalipun meski demikian si wanita tidak bersalah. Juga tidak memberi taklif yang bisa mengakibatkan ta'thil terhadap kewajiban pokoknya, misal jam kegiatan yang padat. Juga tidak memberi taklif yang keluar dari tabi'atnya sebagai wanita dan membahayakan, misal mendakwahi laki-laki ajnabi dan thalabun-nushrah dll.
Letak Penggunaan Kaidah (ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب) dalam Wajibnya Wanita Berharokah
Kewajiban jihad, menerapkan hudud, qishash/jinayat, dll, tidak bisa diwujudkan tanpa menegakkan khilafah, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk menegakkan khilafah.
Mengingat penegakan khilafah harus melalui ‘amal jama’i (aktivitas kelompok), berdasarkan naql dan ‘aql. Naql, adalah bagaimana Nabi saw mendirikan Dawlah secara berjama’ah (sirah beliau saat fase Mekah), ‘Aql, adalah mendirikan Dawlah tidak bisa dilakukan secara individu / seorang diri,
Maka, mendirikan khilafah wajib dengan aktivitas berkelompok.
Pada titik ini lah berlaku kaidah (ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب). Yaitu aktivitas berkelompok yang awalnya tidak wajib (mubah) menjadi wajib karena tanpanya suatu kewajiban (yaitu tegaknya khilafah) tidak bisa diwujudkan, yang untuk selanjutnya berbagai kewajiban diatas tidak bisa dilaksanakan. Dan tidak ada cara lain, karena selain secara berkelompok hanya ada satu alternative yaitu secara individu, dan itu tidak mungkin selain juga tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw.

C.    Analisis
  1. Memenuhi Janji
Anak merupakan harta yang sangat berharga bagi orang tua, tak pelak orang tua selalu mengutamakan kepentingan anaknya daripada dirinya sendirinya karena anak merupakan harta yang tidak perna tertandingi oleh apapun.
Dalam konsep ini, jika seorang ayah dan ibu berjanji menjadikan anaknya bahagia, maka pada hakikatnya merupakan sebuah kaharusan untuk senantiasa orang tua agar membahagiakan anaknya, dan pada saat seoarang anak menginginkan untuk menikah, dan itu merupakan keinginan seorang anak yang kemudian jika tak terpenuhi mengakibatkan penderitaan yang mendalam bagi seorang anak dan sebaliknya jika hal itu terpenuhi maka anak tersebut akan mendapatkan kebahagian.
Dalam kondisi seperti ini, janiji adalaha janji yang pada kenyataanya harus ditepati sehingga ada sebutan janji adalah hutang yang wajib dabayar, dengan demikian karena orangtua telah berjanji akan membuat anaknya bahagia, maka suatu kewajiban bagi orang tua untuk menikahkan anaknya karena menikahkan anaknya merupakan wasilah atau perantara untuk memenuhi janjinya dan menikahkan anak merupakan sarana kebahagian yang telah dijanjikan.
Waalahu a’lam

  1. Saran Pendidikan
Tujuan menuntut ilmu merupakan kewajiban atas semua muslim baik laki-laki maupun perempuan, dalam hal ini Negara hususnya Indonesia yang mengayomi masyarakat islam tentunya mempunyai kewajiban untuk memenuhi seluruh kebutuhan selurruh lapisan masyarakat.
Dalam dunia pendidikan, Negara Indonesia tentunya mempunya beban untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya tentunya pada saat masyarakat ingin menuntut ilmu yang sejak Islam dating telah mewajibkan seluruh umatnya agar senantiasa menuntut ilmu sesuai hadist dibawah ini:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim” [HR. Ibnu Majah, no:224, dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam Shahih Ibni Majah].
Dengan dimekian, sarana atau wasilah dalam memenuhi kewajiban tentunya hukumnya wajib pula ada, sperti halnya adanya lembaga pendidikan, dan sarana-sarana lainya yang mendukung proses tejadiya belajar. Sehingga mau tidak mau agar proses belajar mengajar dapat terpenuhi dengan baik dan sesuai dengan tujuan utama maka diperlukannya saran atau wasilah untuk memenuhi tujuan tersebut sehingga adanya saran/wasilah menjadi wajib hukumnya.




BAB VI
PENUTUP
A.    Kesimpulan
للو سائل حكم المقاصد
Artinya;
“Hukum sarana/wasilah adalah sama dengan hukum tujuan

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب


Jika sebuah kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya
Anatar keduanya mempunyai kesamaan bahwa setiap melakukan suatu perbuatan yang bersifat wajib, namun masih ada syarat yang harus dipenuhi maka syarat/perantara/saran menjadi wajib pula karena tanpa adanya tersebut maka suatu perbuatan (tujuan utama) tidak akan tercapai.
B.     Kritik dan Saran
Manusia  merupakan makhluk yang tidak pernah luput dari kesalahan, begitupula dengan penulis, tentunya masih banyak kesalahan yang masih perlu diperbaiki.
Untuk itu sebagai penulis makalah ini sangat berharap adanya kritikan dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini sehingga nantinya dapat menjadi pedoman kita bersama.









DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli, kaidah-kaidah Fiqh (Jakarta: Kencana 2010) cet. 3
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fikih (Jakarta: Kencan, 2003)
Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Study Islam (Jakarta: Kencana, 2005)
Manna Khalil Al-Qattan, Study al- Qur’an (Bogor: pustaka lintera antar Nusa: 2001)
Abd. Shomad “Hukum Islam (Jakarta: kencana, 2010)
Abd. Aziz dkk, Fiqh Ibadah (Jakarta: Amzah, 2009)
Jail Mubarak, Modifikasi Hukum Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002



[1] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh (Jakarta: Kencana 2010) cet. 3 Hal. 96
[2] Ibid hal 96
[3] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fikih (Jakarta: Kencan, 2003) Hal 20-25
[4] Jail Mubarak, Modifikasi Hukum Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) hal. 70
[5] Jail Mubarak
[6] Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Study Islam (Jakarta: Kencana, 2005) hal 83
[7] Manna Khalil Al-Qattan, Study al- Qur’an (Bogor: Pustaka Lintera Antarnusa: 2001) terj. Hal 34
[8] Abd. Shomad,  Hukum islam (Jakarta: Kencana, 2010) hal 134
[9] Abd. Aziz dkk, Fiqh Ibadah (Jakarta: Amzah, 2009) hal 201

kisah didalam al-quran

kisah didalam al-quran

BAB I
PENDAHULUAN
Sudah dikethuai dan dipergunakan berabad-abad bahwa Al-Qur’an sebagai sumber utama bagi umat Islam dalam mengatur segala aspek kehidupannya dan petunjuk bagi sikap dan prilaku baik menjalani kehidupan d nnya dan petunjuk bagi sikap dan prilaku baik menjalani kehidupan dunia maupun persiapan menuju akhirat.     Banyak orang kagum atau tertarik pada al-Qur’an, namun tanpa dapat menjelaskan mengapa mereka kagum dan tertarik. Tanpa dogma-dogma teologis pun teks al-Qur’an telah menjadi bukti yang inheren atas kemahaindahannya. Beberapa keindahan yang menonjol dalam teks-teks al-Qur’an bagi orang awam sekalipun, adalah teks-teks tentang kisah (cerita).
Kisah (cerita) di dalam al-Qur’an terdapat dalam 35 surat dan 1.600 ayat. Tak mengherankan jika kemudian Allah menyebut al-Qur’an sebagai kumpulan cerita terbaik, meski ia bukanlah buku cerita biasa.

“…Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu (QS. Yusuf: 3)
Predikat kisah terbaik ini semakin kokoh karena kisah-kisah dalam Al-Qur’an telah diberi karakter sebagai kisah yang benar (al-qashash al-haq).Sayangnya jumlah yang hampir mendominasi seluruh isi al-Qur’an ini kurang mendapat perhatian para peneliti dibandingkan perhatian mereka terhadap ayat-ayat hukum, teologi, dan yang lainnya.[2]

Bagi anak-anak, duduk manis menyimak penjelasan dan nasihat merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Sebaliknya, duduk berlama-lama menyimak cerita atau kisah adalah aktivitas yang mengasyikkan. Oleh karenanya memberikan pelajaran dan nasihat melalui cerita adalah cara mendidik yang cerdas dan bijak.[3]
Itulah sebabnya, dalam mengemban tugas dakwah, untuk membuka hati manusia Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk banyak-banyak bercerita. Dengan bahasa perintah yang cukup tegas Allah berfirman

“Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir”

(QS. al-A’raf : 176).




























BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN KISAH
Menurut bahasa, kata qashash berarti kisah, cerita, berita atau keadaan . Kata kisah berasal dari bahasa Arab qishshah, yang diambil dari kata dasar qa sha sha. Kata dasar tersebut ditampilkan al-Qur’an hingga sebanyak 26 kali[1]. Dari penelusuran ayat-ayat yang menggunakan kata dasar tersebut dapat diambil pengertian sebagai berikut:
Kata dasar tersebut kadang juga ditampilkan dalam konteks kebenaran atas apa yang disampaikan Rasulullah, sebagaimana firman Allah :


“Sesungguhnya Ini adalah kisah yang benar…” (QS. Ali ‘Imron 62)
Sebagai sebuah kitab suci, Al-Qur’an memuat kisah-kisah yang tak terkotori oleh oleh goresan pena tangan-tangan jahil dan tidak tercampuri kisah-kisah dusta dan rekayasa. Kisah-kisahnya merupakan kisah yang benar, yang Allah kisahkan untuk segenap manusia, sebagai cerminan dan contoh bagi kehidupan manusia sekarang dan yang akan datang.
Secara semantik kisah berarti cerita, kisah atau hikayat.  Dapat pula berarti mencari jejak (QS. Al-Kahfi:64); menceritakan kebenaran (QS. Al-An’am:57); menceritakan ulang hal yang tidak mesti terjadi (QS. Yusuf:5); dan berarti berita berurutan (QS. Ali Imran:62). Sedangkan kisah menurut istilah ialah suatu media untuk menyalurkan tentang kehidupan atau suatu kebahagiaan tertentu dari kehidupan yang mengungkapkan suatu peristiwa atau sejumlah peristiwa yang satu dengan yang lain saling berkaitan, dan kisah harus memiliki pendahuluan dan bagian akhir.[2]

B.     KISAH DALAM AL-QURAN
1.      Macam-macam Kisah dalam al-Qur’an
Menurut Manna al-Qaththan,  kisah Qur’an dibagi kepada tiga yaitu:
  1. Kisah Anbiya’ yakni kisah yang mengandung dakwah mereka kepada kaummnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Seperti kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, ‘Isa, Muhammad dan nabi-nabi serta rasul lainnya.
  2. Kisah yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Seperti kisah Thalut dan Jalut, Habil dan Qabil, dua orang putra Adam, Ashhab al-Kahfi, Zulkarnain, Karun, Ashab al-Sabti, Maryam, Ashab al-Ukhdud, Ashab al-Fil, dan lain-lain.
  3. Kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa rasulullah. Seperti Perang Badar dan Uhud pada surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk pada surah Taubah, perang Ahzab dalam surah al-Ahzab, hijrah nabi, Isra Mi’raj dan lain-lain.[3]
2.      Metodologi pemahaman kisah
Berbagai penelitian tentang kisah dalam al-Qur’an harus memiliki konsep yang jelas dan benar, sehingga dapat merenungkan letak-letak yang mengandung pelajaran dari kisah-kisah orang terdahulu agar tidak keluar menuju ketersesatan, mitos-mitos, dongeng-dongeng, cerita-cerita, legenda bohong. Dalam al-Qur’an, terdapat beberapa indikator seputar pengamatan terhadap kisah orang-orang terdahulu dan seputar metodologi ilmiah yang benar .
Banyak sekali terdapat metodologi dalam memahami kisah-kisah dalam al-Qur’an, namun diantara yang paling mudah dipahami adalah metode dimana kisah-kisah tersebut di kelompokan dalam katagori “berita-berita gaib” . Kategori gaib dijadikan tawaran metode dengan kenyataan bahwa diantara karakteristik orang-orang mu’min yang paling nyata dan menonjol adalah beriman kepada ayang gaib (transenden),[4]

(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka (QS 2 : 3)
Selain itu hal ini juga diperkuat dengan landasan dari bagian rukun iman yaitu beriman kepada yang gaib.
Rasionalitas ghaib dalam karakteristik pemahaman terhadap Islam adalah unsur utama pembentukan rukun iman , dan al-Qur’an sendiri dengan tegas mengkategorikan bahwa kisah-kisah orang-orang terdahulu yang termaktub di dalamnya adalah termasuk ke dalam alam gaib. Dalam memahami kisah gaib dalam al-Qur’an, kisah tersebut dapat ditinjau dari segi waktu, antara lain:
  1. Gaib pada masa lalu; dikatakan masa lalu karena kisah-kisah tersebut merupakan hal gaib yang terjadi pada masa lampau, dan disadari atau tidak kita tidak menyaksikan peristiwa tersebut, tidak mendengarkan juga tidak mengalaminya sendiri. Contoh-contoh dari kisah ini adalah:
·         Kisah tentang dialog malaikat dengan tuhannya mengenai penciptaan kholifah di bumi, sebabagaimana tercantum dalam QS. [2]: 30-34-      Kisah tentang turunnya Malaikat-malaikat pada malam Lailatul Qadar, seperti disebutkan dalam QS. Al-Qadar: 1-5.
·         Kisah tentang kehidupan makhluq-mahkluq gaib seperti setan, jin, Iblis, seperti tercantum dalam QS. Al-A’raf: 13-14.
  1. Gaib pada masa kini; dalam artian bahwa kisah tersebut terjadi pada masa sekarang, namun kita tidak dapat melihatnya di bumi ini
  2. Gaib pada masa depan; dengan penjelasan bahwa semua akan terjadi pada masa depan ( di akhir zaman), Contoh-contoh dari kisah ini adalah;
·         Kisah tentang akan datangnya hari kiamat, seperti tercamtu dalam QS. Qori’ah, Al-Zalzalah.[5]
3.      Gaya cerita
Dalam penyajian kisah al-Qur’an, tema, teknik pemaparan, dan setting peristiwa senantiasa tunduk pada tujuan keagamaan tanpa meninggalkan karakteristik seni. Dengan demikian kisah dalam al-Qur’an merupakan paduan antara aspek seni dan aspek keagamaan.
a.       Gaya Narasi
Gaya penuturan kisah dalam al-Qur’an pada umumnya menggunakan gaya narasi. Gaya ini mendorong pembaca atau pendengar agar memperhatikan cerita yang para pelakunya telah  tiada, namun seolah para pelaku itu dimunculkan kembali.
Berikut adalah beberapa variasi pemaparan gaya narasi kisah Nabi Ibrahim:
·         Gaya pemaparan berawal dari kesimpulan kemudian diikuti uraian kisah sebagaimana versi QS. Maryam (19): 41-49.
·         Gaya pemaparan berawal dari klimaks, sebagaimana versi QS. Hud (11) : 69-75.
·         Gaya pemaparan dramatik, yaitu kisah disusun seperti adegan-adegan drama, sebagaimana versi QS. Al-Baqarah (2) : 258.
·         Gaya pemaparan kisah tanpa diawali pendahuluan, tetapi langsung pada rincian kisah,sebagaimana versi QS. Al-An’am (6) : 74-84 dan 161.
·         Gaya pemaparan kisah yang diawali pendahuluan. Kata-kata yang digunakan sebagai pendahuluan dalam pemaparan kisah al-Qur’an sangat beragam, seperti :
-  wa idz yang diikuti fi’l madhi seperti QS.al-Baqarah 124
-  a lam tara, hal ataka, seperti dalam QS al-Baqarah (2) : 258 dan adz-Dzariyat (51):
-  maa kaana seperti QS.ali Imron (3) : 67[6]
-  dan masih ada beberapa kata pembuka lainnya
b.      Gaya Dialog
Kisah-kisah dalam al-Qur’an sering ditampilkan dalam konteks dialog sehingga lafal-lafal qaala, qaaluu, qaalat, qulnaa, yaaquuluu, yaquuluun, seringkali kita temukan.Dialog dalam kisah al-Qur’an dapat menggambarkan kepribadian pelakunya, yakni dengan memperhatikan cara pengungkapan bisikan jiwa, pendapat, dan sikapnya tatkala terjadi perselisihan di anatara mereka.
Dalam pengembangan metode bercerita, dialog merupakan unsur penentu menariktidaknya dan hidup-matinya cerita, terlebih cerita untuk anak-anak. Percakapan tokoh memicu imajinasi anak akan karakter tokoh dan tingkah laku.

C.     HIKMAH KISAH DALAM AL-QUR’AN
Ada hikmah yang sangat banyak dan besar di balik kisah-kisah di dalam Al Qur’an tersebut, di antaranya[7]:
  1. Penjelasan tentang kebijaksanaan Allah Ta’ala yang terkandung dalam kisah-kisah tersebut. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala yang artinya: “Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari kekafiran), itulah suatu hikmah yang sempurna maka peringatan-peringatan itu tidak berguna (bagi mereka).” (Q.S. Al Qamar: 4-5)
  2. Penjelasan tentang kemahaadilan Allah yang menjatuhkan hukuman bagi orang-orang yang mendustakan. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala berkenaan dengan orang-orang yang mendustakan: “Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Rabb-mu datang.” (Q.S. Huud: 101)
  3. Penjelasan tentang karunia Allah yang memberi balasan baik bagi orang-orang yang beriman. Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan sebelum fajar menyingsing, sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Al Qamar: 34-35)
  4. Hiburan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas penderitaan yang beliau alami karena gangguan orang-orang yang mendustakan beliau. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala yang artinya: “Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul-Nya); kepada mereka telah datang rasul-rasul-Nya dengan membawa mu’jizat yang nyata, zubur, dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian Aku azab orang-orang yang kafir; maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaan-Ku.” (Q.S. Faathir: 25-26)
  5. Motivasi bagi kaum mukminin agar istiqamah di atas keimanan dan untuk meningkatkannya. Karena mereka mengetahui keselamatan orang-orang mukmin terdahulu dan kemenangan yang diraih oleh orang-orang yang diperintahkan untuk berjihad. Dasarnya adalah firman Allah Ta’alayang artinya: “Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al Anbiyaa’: 88)
    “Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (Q.S. Ar Ruum: 47)
  6. Ancaman bagi orang-orang kafir supaya tidak melestarikan kekafirannya. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala yang artinya: “Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.” (Q.S. Muhammad: 10)
  7. Bukti atas kebenaran risalah yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, karena hanya Allah sajalah yang mengetahui kisah umat-umat terdahulu tersebut. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala yang artinya: “Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini.” (Q.S. Huud: 49)
“Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah.” (Q.S. Ibrahim: 9)
Di antara kisah-kisah tersebut ada yang hanya disebutkan sekali saja, seperti kisah Luqman dan pemuda Al-Kahfi, dan ada yang disebutkan berulang kali, menurut keperluan dan mashlahatnya. Pengulangan itu tidaklah dalam bentuk yang sama. Namun berbeda-beda bentuknya, kadang panjang, kadang pendek, kadang lembut dan kadang keras, kadang disebutkan beberapa bagian dari kisah tersebut di satu tempat dan tidak disebutkan di tempat lainnya.
Hikmah pengulangan tersebut adalah sebagai berikut:
·         Penjelasan tentang urgensi kisah tersebut. Karena pengulangannya menunjukkan bahwa kisah tersebut penting.
·         Penegasan kisah tersebut, agar lebih meresap ke dalam hati manusia.
·         Melihat kondisi zaman dan keadaan manusia pada saat itu. Oleh sebab itu, kisah-kisah dalam surat Makkiyah biasanya lebih keras dan lebih ringkas. Sementara kisah-kisah dalam surat-surat Madaniyah sebaliknya, lebih lembut dan lebih panjang.
·         Keterangan tentang indahnya balaghah Al Qur’an yang mampu menghadirkan kisah tersebut dalam bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan situasi dan keadaannya.
·             Menunjukkan kebenaran Al Qur’an dan menunjukkan bahwa Al Qur’an berasal dari sisi AllahTa’ala, di mana kisah-kisah tersebut dihadirkan dalam bentuk yang berbeda-beda tanpa terdapat kontroversi di dalamnya.
Dalam pemaparan kisah-kisah al-Qur'an, pada dasarnya terdapat banyak sekali faedah yang dapat dipetik manfaatnya. Faedah-faedah tersebut tertuang jelas dalam al-Qur'an, walaupun sebenarnya terdapat faedah-faedah yang tidak tertulis yang belum manusia ketahui secara pasti. Diantara faedah yang tertuang jelas dalam al-Qur'an adalah :
1.      Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syari’at yang dibawa oleh para Nabi.
2.      Meneguhkan hati Rasulullah dan umatnya atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukung serta hancurnya kebatilan dan para pembelanya.
3.      Membenarkan Nabi terdahulu, menghidupkan kenangan serta mengabaikan jejak dan peninggalannya.
4.      Menampakkan kebenaran Muhammad dalam berdakwah dengan apa yang diberitakan tentang hal ihwal orang-orang terdahulu disepanjang kurun dan generasi.
5.      Kisah termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa, baik berupa nasehat, perintah, dan ancaman.[8]
Dari beberapa faedah yang telah disebutkan diatas, dapat dikatakan bahwa sebenarnya muatan atau kandungan yang terdapat dalam kisah-kisah itu adalah mencakup beberapa hal. Diantaranya adalah unsur teologis yang dapat dilihat dengan keterangan yang bersifat ketuhanan dan kenabian. Kedua, adalah moralitas, hal ini dapat dilihat dengan adanya pesan-pesan yang terdapat di dalamnya menyangkut suatu pelajaran-pelajaran penting yang harus dijadikan pelajaran. Adakalanya untuk ditiru maupun untuk dijauhi. Ketiga, adalah unsur peradaban dan sastra yang terlihat ketika metode penyampaiannya menggunakan cerita. Hal ini mempunyai hal tersendiri, misalnya dapat menarik perhatian yang membaca atau yang mendengarnya, disamping itu juga bahwa suatu hal yang dijelaskan atau diungkapkan dengan metode sastra, dapat langsung menyentuh jiwa orang atau obyek yang menjadi tujuan diungkapkannya perihal tersebut.
Lebih dari semua yang dipaparkan di muka, bahwa ketika kisah al-Qur'an dilihat dari tujuannya, maka diketahui letak perbedaan antara cerita dalam al-Qur'an dengan cerita pada umumnya. Al-Qur'an memakai kisah sebagai salah satu cara mengungkapkan tujuan-tujuan yang bersifat transcendental, kendatipun demikian, aspek kesusastraan suatu kisah pada al-Qur'an tidak serta merta hilang, terutama pada saat menggambarkan umat masa lalu. Sedangkan cerita sastra pada umumnya hanyalah menonjolkan ungkapan seni atau kesusastraan saja pada aspek tujuannya. Itulah perbedaan mendasar antara cerita al-Qur'an dengan cerita sastra biasa.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari semua paparan diatas, terdapat beberapa titik tekan pada kisah-kisah dalam al-Qur'an, yaitu:
a.       Pada dasarnya, kisah dalam al-Qur'an bertujuan untuk mengantarkan manusia pada suatu kebenaran melalui berbagai metode penyampaian dan ungkapan unsur-unsurnya.
b.      Walaupun intinya sama, akan tetapi dalam al-Qur'an terdapat dua hal yang pokok, yaitu bahwa variasi kisah dalam paparan diatas dapat dikelompokkan pada 2 (dua) hal saja, yaitu: cerita yang berupa “kenyataan” (cerita yang benar-benar terjadi), dan “simbolik” (cerita yang hanya berupa simbol belaka dan terjadinya bukan merupakan keharusan).




[1] Kadar M Yusuf, study al-Qur’an ( Jakarta : Amzah. 2009) hal 13
[2] Ibid hal 13
[3] Manna Khalil Al-Qattan, Study al- Qur’an (Bogor: pustaka lintera antar Nusa: 2001) terj. Hal 34
[5] Qalyubi, Shihabuddin. Stilistika al-Qur'an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur'an, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.) hal 63
[6] Ibid hal 13
[8] Kadar M Yusuf,